Oleh : Prof. Syahrin Harahap
Belakangan ini kembali muncul kelompok-kelompok Islam garis keras yang berideologis terorisme-takfirisme yang bukan lagi sekedar mewacanakan pendirian Negara Islam, tetapi telah bertindak dengan kekerasan dan senjata untuk mencapai tujuannya. Kelompok ini menamakan dirinya ISIS yang awalnya hanya merespon perpolitikan dan mengagendakan kekuasaan hanya di Syiria dan Irak, namun kini berubah mengagendakan Daulah Islamiyah yang mendunia dan menuntut baiat dari seluruh umat Islam di manapun berada. Mereka tak segan-segan melakukan pembunuhan dan penyerangan kepada kaum muslimin lainnya yang tidak ingin mengikuti mereka. Di Indonesia yang mempunyai sejarah tersendiri dengan agenda terorisme, kelompok-kelompok pengusung ideologi kekerasan ini beramai-ramai melakukan Baiat kepada Khalifah ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi. Pemerintah semestinya merespon dengan cepat hal ini, agar tak menjadi ganjalan di masa depan. Kelompok-kelompok seperti ini jelas anti NKRI dan Pancasila serta anti kebhinekaan yang menjadi landasan Republik Indonesia. Pemerintah tak perlu khawatir dengan isu keislaman yang mereka hembuskan, untuk menipu pemerintah dan masyarakat Indonesia. Prof. Syahrin harahap, Guru besar pemikiran Islam IAIN SU Medan dengan tegas mengatakan bahwa Islam menolak terorisme. Bahkan menurutnya, karena kelompok-kelompok garis keras seperti inilah yang mencoreng Islam sehingga mendapat label “agama teroris”. Berikut ini kami turunkan tulisan beliau yang pernah disampaikan dalam seminar Kupas Tuntas Terorisme di IAIN SU Medan.
——————–
Islam Menolak Terorisme
Adalah suatu kenyataan bahwa sehubungan dengan isu terorisme, umat Islam seringkali berada dalam posisi tersudutkan. Hal ini terjadi, selain disebabkan kekacauan dalam melihat Islam—dalam arti normatif ajaran dengan Islam dalam arti sosiologis, perilaku orang yang menganut Islam—juga karena nama Islam sering dijual untuk tindakan-tindakan teror. Hal ini umpamanya terlihat pada bagaimana Islam dijual dalam tindakan biadab membom WTC, 11 September 2001 yang lalu, seperti terungkap dalam dialog Nehad Awad, Direktur Eksekutif Dewan Hubungan Islam Amerika dengan Mofid Deak, penulis Washington File berikut :
Deak : “Apa pesan yang dikirimkan oleh kelompok anda dan kelompok-kelompok muslim Amerika setelah serangan tersebut?”
Awad : “Pesan yang kami kirimkan ialah bahwa kami adalah bagian dari proses penyembuhan nasional, dan bahwa komunitas kami sudah menderita ganda. Banyak anggota komunitas Muslim Amerika tewas atau luka dalam serangan tersebut, dan komunitas Muslim Amerika sudah dituduh atas tindakan-tindakan oleh oknum-oknum yang tidak kami kenal…orang-orang tersebut bukan anggota komunitas kami di sini. Satu-satunya hal yang mereka ambil dari kami adalah nama agama kami. Mereka mencurinya dari kami, seperti halnya mereka mencuri nama dan identitas. Dan mereka secara keji menyamar nama-nama Islam, dan mereka melakukan kekejian. Itu saja yang mereka lakukan. Para teroris itu adalah oknum-oknum yang sakit dan mereka tidak punya pengetahuan agama. Tidak ada hak bagi mereka atau siapapun untuk mengaitkan apa yang mereka lakukan dengan agama Islam. Pengetahuan mereka tentang agama dan praktek ajaran Islam sangatlah dangkal. (http//unsembassy.state.gov/jakarta/wwwhcir.html.13/07/2003, hal. 3-4.)
Selain karena para teroris mengambil nama Islam, gambaran citra buruk mengenai Islam, khususnya umat Islam di Timur Tengah terus dihubungkan dengan terorisme. Bahkan Juliet Lodge secara eksplesit mengemukakan tanggapan Capitanchik yang menggunakan kata “islamic terrorism”, yang meskipun menggunakan tanda petik tetapi nuansa menyudutkan Islam tetap terlihat kentara.
Pada sisi lain Richard Norton menulis, “lebih dari bagian manapun dari umat Islam, Timur Tengah, sejak Perang Dunia kedua, memiliki reputasi buruk sebagai ajang terorisme kendati banyak pelakunya tidak mengaku bertindak atas nama Islam.”
Namun perlu disadari bahwa Islam sama sekali menolak tindakan-tindakan teror, apalagi terorisme. Dari makna generiknya saja kedua istilah itu bertolak belakang. Kalau terorisme memiliki muatan ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan, pembunuhan, dan bahkan kebencian, maka Islam bermakna keselamatan, penyerahan diri kepada Tuhan, kecintaan kepada Tuhan berarti kecintaan pada sesama, dan dambaan terhadap situasi masyarakat yang tanpa kekacauan.
Dalam perspektif ini memang sangat tidak layak jika Islam disudutkan dengan alasan perilaku kekerasan, termasuk image kekerasan dalam penyebarannya, sehingga Islam diimagekan sebagai “agama pedang”. Dalam hal ini menarik sekali komentar Osman Bakar dalam Isalam and Civilizational Dialogue (1977: 38) yang mengatakan, “Tidak bisa dipungkiri di beberapa wilayah, kekuatan pedang memiliki peran dalam ekspansi territorial Islam. Tetapi jika ini saja dianggap cukup untuk mencirikan Islam sebagai “agama pedang” maka karakteristik serupa bisa diberlakukan terhadap agama Kristen atau Budhisme, karena kedua agama tersebut sesungguhnya melakukan peperangan dalam upaya mempertahankan suatu ekspansi teritorial. Namun, jika yang dimaksud “agama pedang” itu berarti bahwa agama pada dasarnya disebarkan melalui konvensi yang dipaksakan, maka hal ini lebih tepat bila dilekatkan pada agama Kristen daripada Islam.”
Suatu kajian yang sederhana sekalipun terhadap Islam akan menemukan informasi yang melimpah ruah mengenai penolakan terhadap tindakan-tindakan teror. Islam memiliki pendapat mengenai al-baghyi, pemberontakan bersenjata menentang pemerintahan yang sah dan adil, intimidasi kepada rakyat, penyelidikan politik dengan tujuan memecah belah, dan membahayakan keutuhan nasional. Islam juga memiliki pendapat mengenai penggunaan senjata untuk mengintimidasi rakyat (Q.S. 5: 33). Terdapat juga teks-teks yang menetapkan penghormatan yang tinggi terhadap perjanjian, dan lain-lain.
Tampaknya inilah yang melatarbelakangi tokoh-tokoh Islam menegaskan kembali sikap Islam itu, segera setelah peristiwa peledakan WTC. Yusuf al-Qardhawi, misalnya dalam Islam On Line & News Agencies menyebutkan, “Islam adalah agama yang toleran yang menempatkan jiwa manusia dalam rasa hormat yang tinggi dan menganggap serangan terhadap orang yang tidak bersalah sebagai dosa yang sangat besar.”
Dengan begitu Islam membuktikan sendiri penolakannya terhadap tindakan-tindakan teror. Sehingga tidak adil kalau Islam sebagai agama dan umatnya disudutkan dalam isu global terorisme. Pada saat yang sama Islam juga menegakkan kejujuran, sehingga kedustaan merupakan dosa. Sikap anti kekerasan dalam menimbulkan ketakutan tersebut telah didaratkan Nabi Muhammad saw dan para sahabat yang arif bijaksana dalam kehidupan mereka, yang menjadi suri tauladan bagi segenap umat Islam.
Dalam memberikan komentar terhadap Q.S. Ali Imaran : 159, Abdullah Yusuf Ali (1989) mengatakan, “Karena sifat Muhammad yang begitu lemah lembut, menyebabkan semua orang sayang kepadanya, dan inilah salah satu rahmat Allah. Salah satu gelar Rasulullah ialah “rahmat untuk alam semesta”. Sesudah peristiwa Uhud tak pernah ada yang lebih berharga baginya daripada sifatnya begitu lemah lembut, penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu besar menghadapi kelemahan manusia. Ini adalah sifat yang sungguh agung, yang kemudian dan selalu demikian menyebabkan banyak sekali orang yang tertarik kepadanya.” (The Holy Quran, komentar 471)
Para ahli baik muslim maupun non-muslim sangat mengerti bahwa Islam menentang terorisme. Dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World disebutkan bahwa, “Jelas tindakan terorisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam atau agama besar manapun”.
Ituah sebabnya Undang-Undang Anti Terorisme dipandang perlu, diterima dan didukung umat Islam sebagai good will pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memerangi terorisme. Sebagai penduduk mayoritas dan memiliki tanggungjawab terhadap keselamatan warga negara dan umat manusia, umat Islam tetap menasehatkan agar defenisi yang digunakan dalam UU Anti Terorisme tersebut tidak disalah artikan, serta kecenderungan kontroversi di dalamnya diantisipasi secara teliti dan benar.
Ketika membacakan Perpu tersebut tanggal 19 Oktober 2002, Menteri Kehakiman HAM, Yusril Ihza Mahendara, tampaknya telah menyampaikan substansi dari kesadaran umat Islam itu sebagai berikut : “Kita semua sepakat tidak ada satupun agama di muka bumi ini yang merestui dan melegitimasi adanya terorisme. Karena itu sejauh kita menjalankan agama dan menghayati iman secara benar, tidak usah merasa dipojokkan oleh Perpu Anti Terorisme itu. Justeru semua pihak, apapun agama dan imannya, marilah bergandengan tangan untuk mendukung, mengontrol dan mengkritisi agar Perpu Anti Terorisme itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, bukan menjadi teror politik bagi rakyat.” (Kompas, 25 Okt 2002)
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa berkenaan dengan terorisme ada tiga tugas dan tanggungjawab umat Islam.
Pertama, menolak dan melawan tindakan terorisme karena bertentangan dengan ajaran agama Islam, serta menolak segala tuduhan dan upaya yang ingin memojokkan umat Islam dengan menggunakan image terorisme.
Kedua, meningkatkan pemahaman yang lebih humanis dan rasional di kalangan umat Islam terhadap agamanya, agar tidak menempuh jalan atau garis keras (tanpa dasar) dalam menegakkan ajaran Islam.
Ketiga, semua pemimpin, cendekiawan, dan ulama, hendaknya dapat melakukan pemberdayaan umat secara sistematis dan serius, serta penuh keteladanan, agar segenap umat Islam dapat menampilkan citra Islam yang kuat dan bermartabat. Wallahu a’lam bi al-shawab.(hd/liputanislam.com)