Selasa, 21 Juni 2016

Deklarasikan Anti Narkoba dan Radikalisme


Jakarta, bimasislamUntuk pertama kalinyaDirektorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam membentuk Tim Cyber Anti Narkoba dan Radikalisme secara resmiPembentukan tim dan tekad penanggulangan bahaya Narkoba dan radikalisme ditandai pelepasan balon dan slayer Tim sebagai bentuk tekad gerakan nasionalKegiatan dilaksanakan di depan hotel MercureAncol, Jakarta (15/6) yang diikutioleh seluruh peserta Rakornas Tim, dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam, Kemenag RI, Muchtar Ali.

Dalam kesempatan tersebut Muchtar Ali membacakan deklarasi yang diikuti oleh seluruh peserta secara bersama dan bersemangat. Isi deklarasi tersebut adalah: BismillahirrahmanirrahimKami Tim Cyber Anti Narkoba dan Radikalisme Bimas Islam bertekad untuk menanggulangi bahaya Narkoba dan radikalisme untuk mewujudkan Indonesia yang sehatdamaimajudan sejahtera!

Hal menarik dari kegiatan tersebut adalah jumlah balon yang dilepaskan sebanyak 99 balon. Menurut ketua panitia, Alatief, jumlah tersebut merupakan simbol dariasmaul husna (nama-nama Allah yang muliasebagai spirit kerja Tim ke depan.

Pada kesempatan yang samaSekretaris Ditjen BimasMuhammadiyah Aminmenekankan agar Tim benar-benar bekerja nyata dengan memaksimalkan counter narasi untuk edukasi tentang bahaya Narkoba dan radikalismeMenurutnyadi dunia maya saat ini begitu banyak informasi melalui ratusan ribu akun-akun media sosial yang bernuansa radikalSehinggadiharapkan Tim dapat memberikan warna dunia maya agar lebihramahbernuansa Islam rahmatan lil-alamin dan penuh dedikasi.

“Saya berharap Tim Cyber ini benar-benar bekerja dengan baik. Jangan hanya semangat di awal-awal tetapi loyo kemudian. Tantangan kita sangat berat, sekian ratus akun-akun radikal yang perlu dinetralkan dengan narasi-narasi positif. Demikian juga Tim juga harus bisa mengemas informasi yang mengedukasi tentang bahaya Narkoba,” jelasnya.

Kamis, 16 Juni 2016

PERDA SYARIAH BETULKAH DISKRIMINATIF DAN INTOLERANSI

Berita Republika online menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat (disinyalir termasuk Perda yang bernuansa syariah spt pakaian muslim, syarat pandai mengaji, pemberantasan PEKAT dll). Perda tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi dan mengandung diskriminasi dan intolerasi. Lebih lanjut dijelaskan Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi (SIGMA), Iman Nasef menilai, banyaknya Perda yang dibatalkan justru menunjukan kegagalan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam melaksanakan fungsi executive preview.

Menurut Imam, dalam UU Pemda, Mendagri diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan perda. Terutama, perda-perda yang terkait dengan fiskal daerah, seperti Raperda APBD, pajak, retribusi, dan yang mengatur soal tata ruang. 

''Kemudian yang menjadi pertanyaan, kalau dari sejumlah Perda itu sekarang dinyatakan bertentangan dengan ketentuan lebih tinggi, lantas mengapa dahulu saat dilakukan evaluasi, ketika masih dalam bentuk rancangan, perda-perda itu diloloskan?'' kata Imam di Jakarta, Rabu (15/6).

Pemerintah Pusat memang telah memutuskan membatalkan perda yang dianggap bermasalah. Rata-rata Perda tersebut fokus pada aturan pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis. 

Tidak hanya itu, berdasarkan catatan, jumlah perda yang saat ini dibatalkan pemerintah pusat merupakan rekor tertinggi sejak pemberlakukan otonomi daerah. Sebelumnya, dari tahun 2002 hingga 2009, sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Kemudian pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Sementara pada November 2015 hingga Mei 2016, sebanyak 139 perda telah dibatalkan.

Imam menambahkan, sebenarnya kepala daerah dapat 'melawan' pembatalan perda yang dilakukan Kemendagri tersebut. Namun, 'perlawanan' itu harus seiring dengan hasil kajian, apakah pembatalan perda tersebut melanggar UU Pemda, yang mengatur alasan pembatalan Perda, yaitu apabila Perda bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan bertentangan dengan kesusilaan.

''Para Kepala Daerah bisa melakukan 'perlawanan' melalui jalur yang konstitusional untuk men-challenge keputusan Mendagri tersebut. Jalur dimaksud bisa berupa mengajukan keberatan secara langsung kepada Mendagri atau dengan mengajukan gugatan hukum,'' ujar Imam.

Kamis, 09 Juni 2016

MUI: Darurat dalam Urusan Halal-Haram Bukan untuk Selamanya

Jakarta, bimasislam—Halal dan thayyib adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Halal menjadi prasyarat sesuatu boleh dimakan atau digunakan Muslim. Sedangkan thayyib menjadi ambang batas untuk bisa dikonsumsi. Dimana baik untuk dirinya dan tidak mengganggu bekerjanya akal. Demikian Salahudin Alayubi, Wakil Sekjen MUI mengawali paparannya pada Temu Wicara Halal di Jakarta , Kamis (2/6).   "Setiap produk yang menggunakan sentuhan teknologi adalah syubhat" sambung Salahudin. Ketika suatu bahan alami telah mengalami pengolahan maka memungkinkan tercemar dengan unsur haram. Oleh karena itu sertifikasi halal menjadi penting disini.   "Sertifikasi halal menjadi bagian dari proses jaminan produk halal bagi Muslim," sambung Salahudin. Dalam rangkaian proses sertifikasi halal, MUI memberikan fatwa halal terhadap produk yang sudah memenuhi ketentuan produk halal. Dalam hal ini fatwa MUI memberikan kejelasan terhadap status kehalalan suatu produk. "Fatwa menjadi acuan bagi masyarakat untuk bisa mengonsumsi atau menggunakan sesuatu," tambah lelaki yang ahli dibidang syariah ini.   Menanggapi pertanyaan peserta tentang obat yang  mengandung unsur haram yang dikonsumsi Muslim, Salahudin menyampaikan boleh dikonsumsi asalkan kondisinya darurat. Darurat disini diartikan kondisi seseorang terancam nyawanya atau bertambah parah sakitnya apabila ia tidak mengosumsi obat tersebut. "Namun darurat itu bukan untuk  selamanya" tegas Salahudin.   Dalam hal ini setiap Muslim harus mampu membedakan mana kondisi darurat dan mana yang bukan. "Jangan sampai seseorang menggampangkan kondisi darurat dimaksud" tutup Salahudin.   (lady/bimasislam) - See more at: http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/mui-darurat-dalam-urusan-halal-haram-bukan-untuk-selamanya#sthash.jEpCRMjy.dpuf

Selasa, 07 Juni 2016

SEBAIKNYA KITA TAHU! Sejarah Diwajibkannya Syariat Puasa Ramadhan


Bagaimanakah kisahnya? Simak segeraa….
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. ([1])
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1.      Kewajibnya yang bersifat takhyir (pilihan).
2.      Kewajiban  secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum  kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3.      Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.([2])
Tahapan awal berdasarkan firman Allah I :
(وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤
Artinya :
” Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan  shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.”  [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar [L] ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ  mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian  turunlah  ayat  yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ  mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat  فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama ([6]).
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.” ([7])
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.([8])
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ t:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ  rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ !  فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي  rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ :  )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري  وأبو داود]
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam  jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)-  Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud] ([9])

[1] Lihat Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna).
[2] Lihat Zadul ma’ad kitabus shiyam jilid 2 hal.20
[3] Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)
[4] Al-Bukhari Kitabut Tafsiir hadits no.4506.
[5] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no.4507Muslim Kitabush Shiyamhadist no. 149 – [ 1145 ] dan Abu Dawud Kitabush Shiyam, bab 2, hadistno.2312
[6] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi : Kitabush Shiyam hadits no. 149 – [ 1145 ]
[7] Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits no. 4505
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.
Peny :  Sehingga dengan ini, ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku hukumnya orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum, dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia yang muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1915 dan Abu Dawud Kitabush Shiyaam, bab 1, hadits no. 2311.

Senin, 06 Juni 2016

Pemerintah Tetapkan Awal Ramadan Senin 6 Juni 2016


Jakarta (Pinmas) —- Pemerintah menetapkan awal Ramadan tahun 1437H/2016M jatuh pada hari Senin, 6 Juni 2016. Penetapan ini disampaikan Menag dalam jumpa pers usai memimpin Sidang Itsbat (penetapan) awal Ramadan di Kantor Kemenag Jalan MH. Thamrin No. 6 Jakarta, Minggu (5/6).
Menurutnya, penetapan awal Ramadan dilakukan setelah mendengar laporan dari 93 petugas yang berada di 93 titik pemantauan hilal di seluruh Indonesia. Menag mengaku menerima laporan dari lima wilayah yang melihat hilal, yaitu:
Pertama, Akrim Moka (57/Kasi Bimas Islam Kankemenag Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, NTT), disumpah oleh Mukmin, Wakil Ketua Pengadilan Agama Kab. Atambua;
Kedua, KH. Makmuri (59/Ketua badan Hisab Rukyat Jombang, Agus Salim (45/Kepala KUA Kec. Ploso, Jombang), Lutfi Fuadi (30/Dosen IAIN Bahrul Ulum Jombang), disumpah oleh Faiq Zarkasi, Hakim Pengadilan Agama Kab. Jombang;
Ketiga,  Abdul Haris (48/Guru di Kab. Kebumen), disumpah oleh Eldi Hartoni, Hakim Pengadilan Agama Kab. Kebumen);
Keempat, Inwanuddin (40/Guru di Kab. Gresik) dan Solahuddin (49/Wiraswasta di Kab. Gresik), disumpah oleh Masngaril Kirom, Hakim Pengadilan Agama Kab. Gresik; dan 
Kelima, Muhammad Maulan (50/Penyelenggara Syariah pada Kankemenag Kab. Bojonegoro), disumpah oleh Bahrul Ulum, Hakim Pengadilan Agama Kab. Bojonegoro.
“Semua menyatakan di bawah sumpah bahwa mereka telah melihat hilal,” tegas Menag.
“Dari laporan itu, seluruh peserta sidang itsbat menyepakati kalau malam ini kita sudah masuk Ramadan dan puasa dimulai besok hari Senin, 6 Juni 2016,” tambahnya.
Mewakili Pemerintah, atas nama  Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin  mengucapkan selamat menjalani puasa Ramadan mulai esok hari. Menag mengajak semua pihak untuk  bersama-sama menjaga kesucian bulan Ramadan. “Semoga kualitas peribadatan kita dalam menjalani Ramadan ini lebih baik dari tahun sebelumnya,” harapnya.
Sementara itu, Ketua MUI KH. Makruf Amin mengungkapkan rasa syukurnya karena awal puasa bisa dilakukan berbarengan. Menurutnya, hal ini merupakan kenikmatan tersendiri karena dengan begitu masyarakat tidak akan disibukkan oleh hiruk pikuk perbedaan. “Ini perlu terus kita jaga,” ajaknya.
Rois ‘Aam Syuriah PBNU ini mengajak umat Islam Indonesia agar memanfaatkan momen Ramadan yang penuh berkah ini untuk memperbaiki diri, membersihkan hati, dan menjaga ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah Islamiyah (seagama) maupun Wathaniyah (sebangsa setanah air), dalam menghadapi tantangan.
“Mari kita jadkan Ramadan  ini menjadi momentum memperbaiki segalanya di kehidupan bangsa dan negara kita,” pesannya. (didah/dm/dm)

Menag Ajak Sambut Ramadan Dengan Toleransi

Jakarta (Pinmas) —- Pemerintah telah menetapkan awal Ramadan 1437H/2016M jatuh pada Senin, 6 Juni 2016. Artinya, mulai besok, umat Islam akan mulai menjalani kewajiban beribadah puasa.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak semua elemen masyarakat untuk menyambut kehadiran bulan suci Ramadan dengan membangun toleransi. Menurutnya, selama Ramadan,  banyak sesama warga bangsa yang menjalani puasa. Namun demikian,  ada juga sebagian masyarakat Indoensia yang tidak berpuasa karena beragam sebab, baik terkait keyakinan atau ada sebab yang membolehkannya untuk tidak berpuasa.
“Dengan saling toleransi, mudah-mudahan kesucian Ramadan bisa kita jaga,” harap Menag dalam kesempatan jumpa pers usai memimpin Sidang Itsbat (penetapan) awal Ramadan 1437H/2016M di Kantor Kemenag Jakarta, Minggu (05/06).
Kepada para pengelola  tempat hiburan, media massa (cetak maupun elektronik),  serta pengguna sosial media, Menag mengimbau agar program siaran dan tayangan selama Ramadan bisa dibuat sedemikian rupa dan kondusif sehingga kita semua bisa menjaga kesucian bulan Ramadan.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Makruf Amin. Menurutnya, momen bersama mengawali puasa tahun ini harus disyukuri. Sebab,  hal ini merupakan kenikmatan tersendiri karena masyarakat bisa lebih fokus dalam beribadah dan tidak disibukkan  oleh hiruk pikuk perbedaan. “Ini perlu terus kita jaga,” ajaknya.
Rois Syuriah PBNU ini mengajak umat Islam Indonesia agar memanfaatkan momen Ramadan yang penuh berkah ini untuk memperbaiki diri, membersihkan hati, dan menjaga ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah Islamiyah (seagama) maupun wathaniyah (sebangsa dan setanah air), dalam menghadapi tantangan.
“Mari kita jadikan Ramadan  ini menjadi momentum memperbaiki segalanya di kehidupan bangsa dan negara kita,” pesannya. (mkd/mkd)

MUI Terus Cari Titik Temu Metode Penetapan Awal Bulan Hijriyah

Jakarta (Pinmas) —- Harapan akan adanya kesepakatan metode penetapan awal bulan Hijriyah kembali mengemuka. Sejumlah pimpinan ormas menyampaikan hal itu dalam kesempatan Sidang Itsbat (penetapan) awal Ramadan 1437H/2016M.
Sebuah pertanyaan terkait ini juga disampaikan oleh salah satu  jurnalis  dalam kesempatan jumpa pers usai sidang itsbat. Akan hal ini, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amin mengatakan bahwa MUI sampai sekarang masih terus berupaya mencari titik temu dalam metode penetapan awal bulan Hijriyah.
Menurutnya, MUI telah mengeluarkan Keputusan Fatwa No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa itu salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
“Fatwa MUI 2004  sudah menetapkan dua hal. Pertama, metode penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah menggabungkan hisab dan rukyat. Maka lahirlah metodeimkanurrukyat. Kedua, yang berhak menetapkan adalah pemerintah berdasarkan pandangan ulama,” terangnya, Minggu (05/06) malam.
“Jadi dua ini yang sekarang digunakan dalam rangka penetapan awal Ramadan melalui sidang itsbat. Bahwa masih ada yang belum sama, kita akan terus mencari metode yang bisa menggabungkan seluruhnya,” tambahnya.
Ditambahkan Rois ‘Aam Syuriah PBNU ini, pihaknya terus melakukan pendekatan dan pencerahan terkait penetapan awal bulan Hijriyah. “Mudah-mudahan perbedaan ini nantinya bisa disamakan,” harapnya.
Sebelumnya, Menag Lukman mengatakan, Pemerintah dan ulama telah bersepakat bahwa Indonesia menggunakan metode hisab dan rukyat dalam penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah.  Menurutnya, hisab menjadi basis menentukan awal bulan yang dikonfirmasi dengan menggunakan metode rukyat. “Kedua metode ini digunakan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan,” katanya.
Akan halnya masih terjadi perbedaan, Menag berharap ke depan semua pihak bisa duduk bersama untuk menemukan dan menyepakati kriteria sehingga semuanya memiliki kesamaan cara pandang yang diharapkan dapat menghindari kemungkinan perbedaan di kemudian hari. (mkd/mkd)

1 Ramadhan Jatuh Pada Hari Senin 6 Juni 2016

Ada Referensi Jika Hilal Awal Ramadan 1437H Teramati di Wilayah Indonesia

Jakarta (Pinmas) —- Ada referensi pelaporan, jika hilal awal Ramadan 1437H teramati di wilayah Indonesia. Ada referensi empirik jika hilal awal Ramadan 1437H teramati di wilayah Indonesia pada Minggu (05/06).
Penegasan ini disampaikan oleh peneliti Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Cecep Nurwendaya saat memberikan paparan mengenai posisi hilal Awal Ramadan 1437H dalam rangkaian pelaksanaan sidang itsbat (penetapan) awal Ramadan 1437H yang digelar Kementerian Agama di Gedung Kemenag, Jl. MH. Thamrin No. 6, Jakarta, Minggu (05/06).
Hadir dalam kesempatan ini, Menag Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Rois Syuriah PBNU KH Makruf Amin, para pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama, perwakilan dari Ormas Islam seluruh Indonesia, serta para perwakilan Duta Besar Negara sahabat.
“Ada referensi pelaporan hilal jika hilal awal Ramadan 1437H pada hari Ahad tanggal 5 Juni 2016 teramati dari wilayah Indonesia,” terang Cecep.
Menurutnya, ijtimak terjadi pada hari Minggu (05/06) sekitar pukul 10.00 WIB. Untuk di Pelabuhan Ratu, posisi hilal saat terbenamnya matahari adalah 4 derajat 12 menit dengan umur bulan 7 jam 43 menit 19 detik.
Sebagai referensi, Cecep menjelaskan, hilal Syawwal 1404H dengan tinggi 2 derajat dan ijtimak pada pukul 10.18 WIB pada 29 Juni 1984 berhasil dilihat oleh: Muhammad Arief (33) Panitera Pengadilan Agama Pare-Pare dan Muhadir (30) Bendahara  Pengadilan Pare-Pare. Selain itu, Abdul Hamid (56) dan Abdullah, keduanya guru agama di Jakarta, juga dapat melihat hilal pada saat itu.
“Ma’mur Guru Agama Sukabumi dan Endang Efendi Hakim Agama Sukabumi, juga melihat hilal saat itu,” tandasnya.
“Jadi ada referensi pelaporan hilal jika hilal awal Ramadan 1437H pada hari Ahad tanggal 5 JuNi 2016 teramati dari Wilayah Indonesia,” tambahnya. (didah/dm/dm)