Kamis, 09 Juni 2016

MUI: Darurat dalam Urusan Halal-Haram Bukan untuk Selamanya

Jakarta, bimasislam—Halal dan thayyib adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Halal menjadi prasyarat sesuatu boleh dimakan atau digunakan Muslim. Sedangkan thayyib menjadi ambang batas untuk bisa dikonsumsi. Dimana baik untuk dirinya dan tidak mengganggu bekerjanya akal. Demikian Salahudin Alayubi, Wakil Sekjen MUI mengawali paparannya pada Temu Wicara Halal di Jakarta , Kamis (2/6).   "Setiap produk yang menggunakan sentuhan teknologi adalah syubhat" sambung Salahudin. Ketika suatu bahan alami telah mengalami pengolahan maka memungkinkan tercemar dengan unsur haram. Oleh karena itu sertifikasi halal menjadi penting disini.   "Sertifikasi halal menjadi bagian dari proses jaminan produk halal bagi Muslim," sambung Salahudin. Dalam rangkaian proses sertifikasi halal, MUI memberikan fatwa halal terhadap produk yang sudah memenuhi ketentuan produk halal. Dalam hal ini fatwa MUI memberikan kejelasan terhadap status kehalalan suatu produk. "Fatwa menjadi acuan bagi masyarakat untuk bisa mengonsumsi atau menggunakan sesuatu," tambah lelaki yang ahli dibidang syariah ini.   Menanggapi pertanyaan peserta tentang obat yang  mengandung unsur haram yang dikonsumsi Muslim, Salahudin menyampaikan boleh dikonsumsi asalkan kondisinya darurat. Darurat disini diartikan kondisi seseorang terancam nyawanya atau bertambah parah sakitnya apabila ia tidak mengosumsi obat tersebut. "Namun darurat itu bukan untuk  selamanya" tegas Salahudin.   Dalam hal ini setiap Muslim harus mampu membedakan mana kondisi darurat dan mana yang bukan. "Jangan sampai seseorang menggampangkan kondisi darurat dimaksud" tutup Salahudin.   (lady/bimasislam) - See more at: http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/mui-darurat-dalam-urusan-halal-haram-bukan-untuk-selamanya#sthash.jEpCRMjy.dpuf

Tidak ada komentar: