Perceraian sering kali dianggap sebagai akhir dari sebuah kegagalan, perpisahan yang menyakitkan, dan luka yang sulit disembuhkan, diselimuti dendam bahkan memicu kekerasan dalam rumah tangga. Namun dalam perspektif Islam, perceraian bukanlah sebuah aib atau dosa sekalipun masuk perkara halal tapi dibenci Allah SWT, melainkan salah satu solusi syar'i yang diberikan Allah bagi pasangan yang tidak lagi menemukan jalan keluar dalam mempertahankan rumah tangga. Artikel ini mencoba mengangkat pendekatan spiritual dan etis terhadap perceraian, agar prosesnya tetap dalam koridor akhlakul karimah dan nilai-nilai syariah.
1. Pandangan Islam terhadap Perceraian
Dalam Islam, pernikahan adalah ikatan sakral yang dilandasi oleh cinta, kasih sayang, dan ketenangan (sakinah, mawaddah, wa rahmah). Namun ketika tujuan-tujuan itu tidak lagi tercapai, perceraian menjadi jalan yang diperbolehkan. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 229:
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (ihsan)..."
Ayat ini menunjukkan bahwa perceraian tidak boleh dilakukan dengan emosi, dendam, atau permusuhan. Islam justru mengajarkan untuk berpisah secara ihsan – yakni dengan cara yang baik, beradab, dan saling menjaga kehormatan.
2. Etika dalam Perceraian Menurut Sunnah
Rasulullah SAW memberikan contoh dan petunjuk bagaimana perceraian seharusnya dilakukan:
-
Tidak tergesa-gesa: Nabi menganjurkan agar perceraian menjadi jalan terakhir setelah upaya damai, nasihat, dan mediasi telah dilakukan (QS. An-Nisa: 35).
-
Menjaga lisan dan sikap: Dalam proses talak, suami dan istri dianjurkan tetap menjaga akhlak. Tidak mencaci, membuka aib, atau mempermalukan pasangan.
-
Masa iddah sebagai fase refleksi: Masa iddah bukan hanya masa menunggu, tetapi kesempatan untuk berpikir ulang, berdamai, atau mempersiapkan diri secara mental dan spiritual untuk menjalani hidup masing-masing.
-
Memberikan nafkah dan perlindungan: Dalam QS. At-Talaq ayat 6-7, Allah memerintahkan agar perempuan yang ditalak tetap diberikan tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah.
3. Merancang Perceraian yang Bermartabat
Merancang perceraian dalam Islam bukan berarti merencanakan perpisahan, melainkan menyiapkan proses perceraian agar tidak menimbulkan kerusakan lebih besar. Berikut beberapa prinsip yang bisa diterapkan:
-
Transparansi dan Kejujuran: Kedua belah pihak harus terbuka mengenai alasan perceraian dan menjelaskan dengan jujur tanpa menyudutkan.
-
Menghindari Penghakiman Sosial: Masyarakat seharusnya tidak menghakimi mereka yang bercerai, tetapi mendukung dengan doa dan nasihat baik.
-
Memprioritaskan Anak (jika ada): Jika pasangan memiliki anak, maka kebutuhan emosional, psikologis, dan pendidikan anak harus menjadi prioritas bersama.
-
Dokumentasi Legal dan Syariah: Pastikan perceraian dicatat secara hukum negara dan sesuai prosedur syariah agar tidak menimbulkan sengketa di masa depan.
4. Memaafkan dan Mengikhlaskan: Kunci Ketenangan
Perceraian seringkali menyisakan luka, dendam, dan kekecewaan. Namun, Islam mengajarkan untuk memaafkan, sebagaimana firman Allah:
"Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 237)
Sikap memaafkan dan mengikhlaskan menjadi fondasi dalam menyelesaikan perceraian dengan damai. Bukan karena tidak sakit, tetapi karena ingin menyembuhkan.
5. Menata Ulang Kehidupan Pascaperceraian
Setelah perceraian, kehidupan tidak berakhir. Justru menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri, mengevaluasi masa lalu, dan mempersiapkan masa depan. Islam membuka pintu harapan bagi siapa pun yang ingin bangkit kembali.
-
Menjaga ibadah dan hubungan dengan Allah: Ini adalah kekuatan utama dalam melalui masa sulit.
-
Bangun kembali kepercayaan diri: Melalui komunitas, pekerjaan, atau aktivitas sosial.
-
Terbuka untuk kesempatan baru: Islam tidak menutup pintu untuk menikah kembali jika memang telah siap secara lahir dan batin.
Penutup
Perceraian dalam Islam adalah solusi, bukan stigma. Ia bukan akhir dari cinta, tapi bisa jadi awal dari cinta yang lebih dewasa dan berkualitas, meski tak lagi dalam satu ikatan pernikahan. Merancang perceraian yang indah berarti menjaga marwah diri, menghargai pasangan sebagai bagian dari sejarah hidup, dan tetap berada dalam lingkaran ridha Allah. Dengan demikian, cinta tetap dirawat – meski dalam bentuk dan jalur yang berbeda. UWaS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar