PERLINDUNGAN DAN
UPAYA BANTUAN HUKUM BAGI APARATUR KEMENAG DALAM MENJALANKAN TUGAS
OLEH :
BOIZIARDI AS, S.H,
M.H.
(ADVOKADDI Kota Padang)
PENDAHULUAN
• Bantuan hukum dan hak asasi manusia merupakan
elemen yang sangat prinsipil dalam suatu negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat)
tanpa harus melihat dan
membedakan latar belakangnya.
• Konsekuensi dari adanya hal tersebut
maka setiap orang memiliki hak untuk dapat diperlakukan secara sama di hadapan
hukum (equality before the law).
• Adanya prinsip hukum yang berdaulat
(supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga
bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial)
merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum.
• Tujuan
nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD
1945 alinea ke IV yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia...”. Penjabaran tujuan nasional tersebut dalam
batang tubuh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut ini :
• Pasal
1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”.
• Pasal
27 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa
:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
• Pasal
28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:“Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
• Pasal
28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”.
• Pasal
27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas dapat diartikan bahwa
setiap orang/individu sebagai warga negara tanpa membedakan latar belakangnya
berhak memperoleh keadilan melalui mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggung
jawab) melalui lembaga peradilan (keadilan untuk semua/justice for all).
• Atau
dengan kata lain setiap orang berhak untuk memperoleh pendampingan dan bantuan
hukum ketika berhadapan dengan proses hukum baik diluar proses pengadilan (non
litigasi) maupun didalam proses pengadilan (litigasi).
• Berdasarkan
data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), tanggal 17 Agustus 2014.
(Kompas.com 18 Agustus 2014)
• “Pada 2010, jumlah kasus korupsi
yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mencapai 448 kasus. Pada 2011, jumlahnya menurun menjadi 436 kasus dan menurun
lagi pada 2012 menjadi 402 kasus. Namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan
menjadi 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat
lagi mengingat selama semester I - 2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus”.
• Perkembangan
jumlah kasus korupsi linier dengan jumlah tersangka korupsi. Pada tahun
2010, jumlah tersangka korupsi mencapai 1.157 orang, kemudian pada 2013 jumlahnya meningkat signifikan
menjadi 1.271 orang .
• Dari
kasus-kasus korupsi yang terjadi selama semester I-2014, sebagian besar tersangka
adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian, yakni 42,6
persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta,
anggota DPR/DPRD, kepala dinas, dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan semester
I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada
jabatan kepala daerah.
• Berdasarkan
data dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, pada tahun 2013-2014 hampir 40% Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang masuk penjara, karena melaksanakan tugas
selaku abdi negara dalam menjalankan kedinasan dan pemerintahan serta tugas
kegiatan pembangunan dibiarkan terlantar begitu saja tanpa diberikan advokasi
pendampingan dan bantuan hukum oleh negara. (http://bkd.babelprov.go.id)
• Semenjak
Indonesia merdeka tahun 1945 sampai 18 Desember 2013 tidak satupun peraturan
perundang-undangan yang meberikan dasar hukum bagi ASN untuk mendapat advokasi
dan bantuan hukum.
• Negara
tidak pernah memberikan perlindungan advokasi dan bantuan hukum bagi Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang berurusan dengan hukum karena melaksanakan
tugas selaku abdi negara dalam menjalankan kedinasan dan pemerintahan serta
tugas kegiatan pembangunan, mereka dibiarkan terlantar begitu saja tanpa diberikan
advokasi pendampingan dan bantuan hukum
• Ibarat
pepatah “Habis manis sampah di buang”
• Kehadiran
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah
disahkan oleh Presiden pada tanggal 19 Desember 2013 dan diundangkan mulai tanggal
15 Januari 2014, memberikan nafas baru atau garansi kepada PNS yang sedang
menghadapi masalah (kasus) hukum untuk mendapatkan pendampingan advokasi dan
bantuan hukum yang disediakan oleh negara dalam menjalankan tupoksinya selaku
abdi negara, baik tingkat non litigasi maupun ditingkat litigasi.
• Pasal
21 UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa PNS
berhak memperoleh:
• Gaji,
tunjangan, dan fasilitas, cuti
• Jaminan
pensiun dan jaminan hari tua
• Perlindungan
• Pengembangan
kompetensi
• Pasal
22 UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa PPPK berhak memperoleh:
• Gaji,
tunjangan, dan fasilitas, cuti
• Jaminan
pensiun dan jaminan hari tua
• Perlindungan
• Pengembangan
kompetensi
• Pasal 92 Ayat (1) UU No. 5/2015 menyebutkan bahwa
Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
• jaminan
kesehatan;
• jaminan
kecelakaan kerja;
• jaminan
kematian; dan
• bantuan
hukum.
• Pasal
92 Ayat (3) UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa Bantuan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d,
berupa pemberian bantuan
hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan
tugasnya.
KEJAHATAN YANG TERKAIT DENGAN ASN
• UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP) dan UU No 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP
• UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
• Undang-Undang No. 14 Tahun 2014 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
• Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999; Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
• Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999; Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara
• Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001; Setiap orang
atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya
• Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001; Setiap orang
yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
• Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001; Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
• Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001; Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
• Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001 Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
- menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
- membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut; atau
- membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
- Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001; Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
• Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan,
atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara
yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
atau
- pegawai negeri atau penyelenggara
negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
• Pasal 2
(1)
Hasil tindak
pidana adalah Harta
Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana : korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan
tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal;
di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan
senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang
kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau
tindak pidana lain
yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
(2)
Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n (terorisme)
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana
Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak
pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Undang-Undang No. 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik
• Pasal 52
• Badan publik yang dengan sengaja tidak
menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik
berupa informasi publik secara berkala informasi publik yang wajib diumumkan
secara serta merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat dan/atau
informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan
undang-undangan ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)
Advokasi dan Bantuan Hukum bagi ASN
• Maksud dan tujuan dilaksanakannya Pemberian
Bantuan Hukum kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, adalah adanya
jaminan Negara atau Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bagi Aparatur Sipil
Negara yang menghadapi masalah hukum sebagai resiko kedinasan baik didalam
proses pengadilan (litigasi) maupun diluar proses pengadilan (non litigasi).
• Dengan adanya pemberian bantuan hukum
kepada Aparatur Sipil Negara ini, harapan yang ingin dicapai
kedepan, sebagai berikut :
- Meningkatnya rasa aman dan kenyamanan
ASN dalam bekerja atau dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta kegiatan
pembangunan.
- Terwujudnya aparatur yang profesional,
berintegritas, netral, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
KKN, memiliki kompetensi sesuai bidangnya serta berkinerja dan berdisiplin
tinggi dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi.
- Meningkatnya kesempatan/kemampuan
aparatur yang bermasalah hukum untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
peradilan atau untuk memperoleh pendampingan dan bantuan hukum baik diluar
proses pengadilan maupun didalam proses pengadilan.
• Dalam melakukan advokasi pendampingan dan
pemberian batuan hukum kepada ASN, hal-hal yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut:
- Kesadaran ASN dalam menjalankan tupoksinya.
- Sosialisasi segala aturan yang terkait
dengan tupoksi dan aturan yang kemungkinan akan menyebabkan ASN bermasalah
dengan hukum.
- Pengawasan terhadap ASN dalam
menjalankan tupoksinya.
- Hadapi masalah hukum yang ada dengan
serius, tenang dan sabar.
- Melakukan pendampingan sedini mungkin
bagi ASN yang bermasalah dengan hukum.
- Advokasi pendampingan dan bantuan
hukum dilakukan oleh kalangan yang lebih profesional.
• Dalam memberikan advokasi pendampingan dan
bantuan hukum bagi ASN yang bermasalah dengan hukum, hal yang harus dilakukan
dalam pemilihan advokat yang profesional dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
- Pertama, menunjuk
advokat/penasehat hukum yang mempunyai kecakapan dan pengalaman pada
bidang perkara yang dihadapi.
- Kedua, menunjuk
advokat/penasehat hukum yang indenpenden atau bebas dari kepentingan atau
tekanan pihak manapun. Hindari penasehat hukum dan yang mempunyai konflik
kepentingan dan diragukan sikap independensinya terhadap perkara.
- Ketiga, menunjuk advokat/penasehat
hukum dikenal atau berdasarkan rekomendasi dari teman atau relasi yang
pernah mengalami kesuksessan dalam menyelesaikan perkara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar