Jumat, 13 Mei 2016

Materi 2 Pembinaan Hukum bagi ASN Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat

PERLINDUNGAN DAN UPAYA BANTUAN HUKUM BAGI APARATUR KEMENAG DALAM MENJALANKAN TUGAS
OLEH :
BOIZIARDI AS, S.H, M.H.
(ADVOKADDI Kota Padang)
PENDAHULUAN
       Bantuan hukum dan hak asasi manusia merupakan elemen yang sangat prinsipil dalam suatu negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) tanpa harus melihat dan membedakan latar belakangnya.
       Konsekuensi dari adanya hal tersebut maka setiap orang memiliki hak untuk dapat diperlakukan secara sama di hadapan hukum (equality before the law).
       Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial) merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum.
       Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”. Penjabaran tujuan nasional tersebut dalam batang tubuh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut ini :
       Pasal 1 ayat  (3) yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
       Pasal 27 Ayat (1)  yang menyebutkan bahwa :“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

       Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. 
       Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
       Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas dapat diartikan bahwa setiap orang/individu sebagai warga negara tanpa membedakan latar belakangnya berhak memperoleh keadilan melalui mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggung jawab) melalui lembaga peradilan (keadilan untuk semua/justice for all).
       Atau dengan kata lain setiap orang berhak untuk memperoleh pendampingan dan bantuan hukum ketika berhadapan dengan proses hukum baik diluar proses pengadilan (non litigasi) maupun didalam proses pengadilan (litigasi).
       Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), tanggal 17 Agustus 2014. (Kompas.com 18 Agustus 2014)
                       “Pada 2010, jumlah kasus korupsi yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai 448 kasus. Pada 2011, jumlahnya menurun menjadi 436 kasus dan menurun lagi pada 2012 menjadi 402 kasus. Namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan menjadi 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat lagi mengingat selama semester I - 2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus”.
       Perkembangan jumlah kasus korupsi linier dengan jumlah tersangka korupsi. Pada tahun 2010, jumlah tersangka korupsi mencapai 1.157 orang, kemudian  pada 2013 jumlahnya meningkat signifikan menjadi 1.271 orang .
       Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama semester I-2014, sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian, yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta, anggota DPR/DPRD, kepala dinas, dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah.
       Berdasarkan data dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada tahun 2013-2014 hampir 40% Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masuk penjara, karena melaksanakan tugas selaku abdi negara dalam menjalankan kedinasan dan pemerintahan serta tugas kegiatan pembangunan dibiarkan terlantar begitu saja tanpa diberikan advokasi pendampingan dan bantuan hukum oleh negara. (http://bkd.babelprov.go.id)
       Semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai 18 Desember 2013 tidak satupun peraturan perundang-undangan yang meberikan dasar hukum bagi ASN untuk mendapat advokasi dan bantuan hukum.
       Negara tidak pernah memberikan perlindungan advokasi dan bantuan hukum bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berurusan dengan hukum karena melaksanakan tugas selaku abdi negara dalam menjalankan kedinasan dan pemerintahan serta tugas kegiatan pembangunan, mereka dibiarkan terlantar begitu saja tanpa diberikan advokasi pendampingan dan bantuan hukum
       Ibarat pepatah “Habis manis sampah di buang”
       Kehadiran Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 19 Desember 2013 dan diundangkan mulai tanggal 15 Januari 2014, memberikan nafas baru atau garansi kepada PNS yang sedang menghadapi masalah (kasus) hukum untuk mendapatkan pendampingan advokasi dan bantuan hukum yang disediakan oleh negara dalam menjalankan tupoksinya selaku abdi negara, baik tingkat non litigasi maupun ditingkat litigasi.
       Pasal 21 UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa  PNS berhak memperoleh:
       Gaji, tunjangan, dan fasilitas, cuti
       Jaminan pensiun dan jaminan hari tua
       Perlindungan
       Pengembangan kompetensi
       Pasal 22 UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa PPPK berhak memperoleh:
       Gaji, tunjangan, dan fasilitas, cuti
       Jaminan pensiun dan jaminan hari tua
       Perlindungan
       Pengembangan kompetensi
       Pasal  92 Ayat (1) UU No. 5/2015 menyebutkan bahwa Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
       jaminan kesehatan;
       jaminan kecelakaan kerja;
       jaminan kematian; dan
       bantuan hukum.
       Pasal 92 Ayat (3) UU No. 5/2014 menyebutkan bahwa Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  huruf  d,  berupa  pemberian  bantuan  hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.
KEJAHATAN YANG TERKAIT DENGAN ASN
       UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP
       UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
       UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
       Undang-Undang No. 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
       Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999; Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
       Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999; Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
       Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001; Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
       Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001; Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
       Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001; Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
       Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001; Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
       Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
  1. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
  2. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
  3. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
  4. Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001; Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
       Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
  3. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
  4. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  5. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
  6. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
  7. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
       Pasal 2
(1)    Hasil   tindak   pidana   adalah   Harta   Kekayaan   yang diperoleh dari tindak pidana : korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak  pidana  lain  yang  diancam  dengan  pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang  dilakukan  di wilayah  Negara  Kesatuan Republik Indonesia   atau   di   luar   wilayah   Negara   Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2)    Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n (terorisme)
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas   Harta   Kekayaan   yang   diketahuinya   atau   patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana  karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Undang-Undang No. 14 Tahun 2014 tentang Keterbukaan Informasi Publik
       Pasal 52
       Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undangan ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
Advokasi dan Bantuan Hukum bagi ASN
       Maksud dan tujuan dilaksanakannya Pemberian Bantuan Hukum kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, adalah adanya jaminan Negara atau Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bagi Aparatur Sipil Negara yang menghadapi masalah hukum sebagai resiko kedinasan baik didalam proses pengadilan (litigasi) maupun diluar proses pengadilan (non litigasi).
       Dengan adanya pemberian bantuan hukum kepada Aparatur Sipil Negara ini,  harapan yang ingin dicapai kedepan, sebagai berikut :
  1. Meningkatnya rasa aman dan kenyamanan ASN dalam bekerja atau dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta kegiatan pembangunan.
  2. Terwujudnya aparatur yang profesional, berintegritas, netral, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik KKN, memiliki kompetensi sesuai bidangnya serta berkinerja dan berdisiplin tinggi dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi.
  3. Meningkatnya kesempatan/kemampuan aparatur yang bermasalah hukum untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan atau untuk memperoleh pendampingan dan bantuan hukum baik diluar proses pengadilan maupun didalam proses pengadilan. 
       Dalam melakukan advokasi pendampingan dan pemberian batuan hukum kepada ASN, hal-hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
  1. Kesadaran ASN dalam menjalankan tupoksinya.
  2. Sosialisasi segala aturan yang terkait dengan tupoksi dan aturan yang kemungkinan akan menyebabkan ASN bermasalah dengan hukum.
  3. Pengawasan terhadap ASN dalam menjalankan tupoksinya.
  4. Hadapi masalah hukum yang ada dengan serius, tenang dan sabar.
  5. Melakukan pendampingan sedini mungkin bagi ASN yang bermasalah dengan hukum.
  6. Advokasi pendampingan dan bantuan hukum dilakukan oleh kalangan yang lebih profesional.
       Dalam memberikan advokasi pendampingan dan bantuan hukum bagi ASN yang bermasalah dengan hukum, hal yang harus dilakukan dalam pemilihan advokat yang profesional dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pertama, menunjuk advokat/penasehat hukum yang mempunyai kecakapan dan pengalaman pada bidang perkara yang dihadapi.
  2. Kedua, menunjuk advokat/penasehat hukum yang indenpenden atau bebas dari kepentingan atau tekanan pihak manapun. Hindari penasehat hukum dan yang mempunyai konflik kepentingan dan diragukan sikap independensinya terhadap perkara.
  3. Ketiga, menunjuk advokat/penasehat hukum dikenal atau berdasarkan rekomendasi dari teman atau relasi yang pernah mengalami kesuksessan dalam menyelesaikan perkara mereka.




Tidak ada komentar: