Jumat, 13 Mei 2016

KONSEP KELUARGA DALAM AGAMA ISLAM

KONSEP KELUARGA DALAM AGAMA ISLAM
Oleh:
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. [1]


Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yang berarti selamat dan sejahtera. Islam juga berarti tunduk dan patuh. Kedua arti Islam ini bisa direkonsiliasikan, untuk dapat selamat dan sejahtera seseorang harus tunduk dan patuh terhadap semua aturan Allah swt.
Alam semesta (universe) sebenarnya juga Islam terhadap Allah (Fushshilat/41 11). Kemudian semua agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan para rasul-Nya adalah Islam. Berikutnya kata Islam ini dijadikan Allah untuk nama agama terakhir yang dibawa oleh nabi terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan sesuatu yang sudah disengajakan oleh Allah.
Kehadiran Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dimaksudkan untuk meluruskan garis lurus agama-agama sebelumnya. Dengan lain kata, Islam tidak hanya membenarkan agama lain, juga kebenaran yang ada dan sekali gus mengemukakan koreksian terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam agama-agama lain tersebut, kemudian memberikan penjelasan tentang kebenaran itu. Inilah keistimewaan Islam, ia terbuka terhadap unsur luar selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar atau prinsip pokok dari ajaran-ajarannya.
Islam adalah agama rahmatan li al-‘âlamîn (agama kasih sayang) yang amat sempurna. Ia cocok untuk segala tempat dan etnis (al-shâlih li kulli zamân wa makân). Islam adalah agama wahyu taraf terakhir dari proses evolusi agama sejak dari Nabi Adam as. Agama diturunkan Allah sesuai dengan tingkat kecerdasan manusia yang menerimanya. Agama yang diberikan kepada Nabi Adam as adalah agama tingkat kecerdasan manusia adalah tingkat bayi. Begitulah seterusnya kepada nabi-nabi lain, tingkat kecerdasan anak-anak, remaja dan lainnya. Karena itu agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Islam adalah agama tingkat kecerdasan manusia yang sudah dewasa. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk masalah baru yang muncul, sudah ada solusinya dalam Islam. Atas dasar itulah tidak perlu lagi tambahan agama atau agama baru sesudah Islam (lâ nabiy ba’dahu).
Tulisan ini berbicara tentang konsep keluarga menurut agama Islam sebagai pengantar diskusi dalam orientasi keluarga sakinah tingkat Provinsi Sumatera Barat tahun 2012 di Padang yang diadakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat. Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan tambahan informasi bagi peserta.



I.         Islam, Agama Rahmat Li al-‘alamin
Islam adalah agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan Jibril. Yang dimaksud wahyu di sini adalah al-Qur’an dan teks Arabnya. Hal ini berarti teks Arab wahyu bukanlah berasal atau pilihan dari Nabi sendiri, melainkan seutuhnya dari Allah, yang disebut Kalam Allah. Oleh karena itu, teks Arab al-Qur’an jika diganti dengan teks Arab sinonimnya atau diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka teks Arab penggantian dan perubahan susunan kata tersebut, juga terjemahannya bukanlah wahyu yang bersifat absolut, melainkan adalah penafsiran dan hasil pemikiran manusia yang bersifat relatif. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahannya itu tidak mengikat manusia, sedangkan wahyu dalam teks Arab itulah yang mengikat bagi manusia.
Berbeda dengan sifat dasar al-Qur’an sebagai sumber pertama dari ajaran Islam, Hadis, sebagai sumber nomor kedua bukanlah wahyu dalam arti di atas. Hadis pada umumnya mengandung ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan ketetapan Nabi. Beliau terpelihara dari kesalahan dan menjadi ma’shum. Dengan kata lain, apabila ada ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau itu benar. Ia pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas tentang isi al-Qur’an. Adapun hadits yang sama kuatnya dengan al-Qur’an dalam keabsolutan dan kebenaran mutlaknya adalah hadis mutawatir, yang jumlahnya sangat sedikit.
Dengan demikian ajaran Islam terdiri dari kelompok ajaran yang bersifat absolut, universal, kekal dan tak berubah, sebagai terdapat dalam al-Qur’an dengan teks Arabnya dan hadis mutawir. Jumlah ajaran seperti ini amat sedikit jumlahnya. Selain itu, ada pula kelompok ajaran Islam hasil ijtihad dan kewenangan manusia dalam menjabarkan ajaran-ajaran dasar tersebut. Ajaran Islam kelompok ini bersifat tidak absolut, tetapi relatif, bisa berubah dan bisa diubah bahkan kadang-kadang harus diubah karena tidak cocok lagi dengan zaman.
Jelas kiranya bahwa ajaran Islam tentang hidup kemasyarakatan dan masalah keduniaan datang dalam prinsip-prinsip pokok kerja saja, maka untuk mengoperasionalkannya diserahkan sepenuhnya kepada akal manusia. Karena itulah seperti telah disebutkan bahwa ajaran Islam selalu serasi dengan konteks zaman dan kemajuan masa. Agaknya di sinilah letaknya kerasionalan dan kedinamikaan ajaran Islam tanpa mengenal batas geografis dan etnis. Seandaninya ajaran absolut dalam jumlahnya besar dan rinci, maka dinamika masyarakat yang diatur oleh sistem tersebut akan menjadi terikat dan perkembangan masyarakat akan menjadi terhambat.
Islam sangat mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahkan ia mendorong pemeluknya supaya mencari ilmu pengetahuan sampai kapan dan di mana pun. Ia juga menempatkan pakar ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi. Sejarah Islam mencatat, betapa sungguh-sungguhnya umat Islam zaman klasik mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Konon kabarnya Khalifah Al-Makmun sendiri berkenan membayar jasa penterjemah dengan emas yang sama beratnya dengan buku yang diterjemahkan. Jasa umat Islamlah yang mengembangkan ilmu dari Yunani bersifat spekulatif, yang dicontohkan bagai sebuah kebun yang subur, penuh dengan bunga-bunga yang indah, tapi sayangnya tidak banyak berbuah, kaya dengan filsafat dan sastra, tapi miskin dengan teknik dan teknologi, menjadi ilmu (sains) yang dilandasi metode Jabir bin Hayyan yang sifatnya empiris eksperimental (Ahmad Baiquni, h.12)
Sikap positif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan ini sepenuhnya diilhami al-Qur’an dan hadis sebagai sumber dorongan. Berbeda dengan agama Barat, Islam sebagai agama memiliki hubungan simbiotik dengan ilmu pengetahuan dalam kerangka keimanan. Dalam Islam tidak pernah ditemukan pembunuhan terhadap ilmuwan yang berhasil dalam rangka menemukan hal-hal yang dalam ilmu pengetahuan. Bahkan Islam menawarkan pahala bagi umatnya yang berijtihad di bidangnya sekalipun salah.
Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Ia sangat serasi dengan sifat dasar manusia. Manusia diciptakan Allah dinamis dan berilmu pengetahuan (al-Baqarah/2: 31). Manusia (Adam dan keturunannya) diciptakan Allah dari tanah bumi ini. Kendatipun keturunan Adam tidak disebut secara eksplisit dari tanah, namun sesuai dengan hasil penilitian sains, unsur kimiawinya sama dengan unsur kimiawi tanah bumi ini. Jadi, manusia adalah makhluk bumi yang dibekali dengan akal dan ilmu pengetahuan, karena ia akan mengemban tugas sebagai khalifah. Ini berarti betapa pun canggihnya perkembangan ilmu pengetahuan di alam semesta ini akan dapat dijangkau oleh daya nalar manusia, karena penciptaan manusia dan alam semesta telah diberi keharmonisan indah dan merupakan satu kesatuan yang organik. Menurut Andi Hakim Nasution keadaan ini memungkinkan karena manusia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis makhluk lainnya. Penciptaan manusia memang penuh keunikan. Menurut temuan ilmu pengetahuan seperti yang dijelaskan Prof. B. J. Habibie, cara kerja otak manusia sangat luar biasa, andaikan ia dibuat bentuk komputer akan dibutuhkan komputer sebesar bola bumi ini.
Islam adalah agama yang menghendaki terwujudnya suatu kehidupan yang sejahtera lahir, batin, dunia dan akhirat. Untuk itu manusia harus berperan aktif dan tidak boleh berpangku tangan.


II.           Ajaran Islam Tentang Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa keluarga ialah ibu bapak dengan anak-anaknya. (h.143) Pada prinsipnya pengertian keluarga dalam berbagai referensi hampir sama, perbedaannya terletak dalam pengungkapannya saja. Silviciond dan Arocelis, misalnya, mengemukakan keluarga adalah dua atau lebih dari individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan dan pengangkatan, yang mereka hidupnya dalam suatu rumah, berinteraksi satu sama lain dan perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan satu budayanya. (id.shvong.com)
Jadi keluarga dapat dikatakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas suami istri (ibu bapak) dan anak-anaknya yang tinggal pada suatu tempat dan saling ketergantungan. Keluarga itu dapat dibagi atas dua kategori:
a.       Keluarga besar, yakni keluarga yang terdiri atas ibu bapak dan beberapa anak serta lain-lainnya.
b.      Keluarga inti, yakni keluarga yang terdiri atas suami istri.
Keluarga diperkotaan pada umumnya disebut dengan RT (rukun tetangga) dan gabungan beberapa keluarga disebut dengan RW (rukun warga). Sedangkan di pedesaan keluarga juga disebut dengan RT, sedangkan gabungan dari beberapa RT disebut dengan suku, seperti Chaniago, Sikumbang dan lain-lain. Dalam bahasa Arab keluarga disebut dengan al-‘usrah. Sedangkan kata qabâ’il jamak dari qabîlah lebih cenderung diartikan dengan suku-suku (al-Hujurât/49: 13).
Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, sebaliknya pribadi yang rusak akan melahirkan keluarga yang rusak. Demikian juga seterusnya, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang baik. Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah sebagai mandataris-Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya itu ia dapat mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik. Dengan kata lain, ia harus mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu pula melestarikan alam ini. Karena  alam yang diciptakan  Allah ini bukanlah alam yang siap pakai, tetapi ia harus diolah dan dibangun oleh manusia menjadi suatu alam yang baik. Adanya anggapan alam ini sebagai suatu tempat yang siap pakai, merupakan suatu kekeliruan. Anggapan yang menyesatkan ini bertentangan dengan tugas manusia di bumi sebagai mandataris-Nya (Sirajuddin Zar, h.46). Justru itu amat wajar Islam mengutamakan pembinaan terhadap individu dan keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Adam as dan keturunannya diciptakan Allah berpotensi mendapatkan ilmu pengetahuan (al-Baqarah/2:31) kemudian Allah mengungkapkan sifat atau fenomena alam kepada manusia yang disebut dengan sunatullah. Ia berbeda dengan hukum alam Barat. Maksud sunatullah dalam Islam ialah Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengan sifatnya itu ia bersifat otonom dan kosmopolitan di alam, tetapi bukan otokrasi. Allah menciptakan api panas, dan ia otonom panasnya serta selalu panas. Sunnatullah atau rancangan ciptaan Allah ini, tidak akan  berubah dan ia akan membakar apapun yang mendekat padanya tanpa ia bedakan. Kalau api tidak panas harus diganti namanya. Sedangkan hukum alam barat, alam berfenomena menjadikan api panas, tetapi bukan diciptakan. Kata taskhîr dalam al-Qur’an (Lihat: al-Jatsiyah/45: 13) menunjukkan arti bahwa Allah sengaja mengungkapkan sifat-sifat atau fenomena alam kepada manusia. Dengan menyusun sifat-sifat benda di alam, manusia dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan mengembangkannya. Selain itu, agar manusia tetap baik dan bersih, Allah menciptakan roh pada diri manusia (min rûhî; lihat:al-Hijr/15:29 dan Shâd/3872) yang bersifat suci bahkan sucinya, menurut Tafsir al-Mizan dihubungkan dengan kesucian Allah (al-Thaba Thaba’i, juz 12,h.155). Dengan demikian Allah menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya, potensi suci, beriman kepada Allah (al-‘Araf/7: 172 dan al-Rûm/30: 30).
2.      Allah mendorong manusia agar melaksanakan pernikahan (al-Rûm,/30: 21). Untuk itu Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia. Atas dasar inilah manusia saling ketertarikan terhadap lawan jenis. Islam juga menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang beragama. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya seorang wanita dikawini karena empat faktor; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki agama, karena kalau tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu miskin atau sengsara.” Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah. (Lihat: Quraish Shihab, hal. 254) Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda terhadap putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya; sedang bila ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang pernah pula mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada istrinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah semua rumah tangga terbina dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri, telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat al-Nisâ’/4:19, yang artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah menjadikan dibalik itu kebaikan yang banyak. 
Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali yang kokoh). Suami istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena masing-masing berasal dari jenis yang sama, min nafs wâhidah, yakni manusia (al-Nisâ’/4: 1) dan suami istri bagaikan pakaian masing-masing, hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar pernikahan ini akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan antara jiwa dengan jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban untuk kebahagiaan pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf sakinah. 
3.      Seorang ibu apabila hamil sangat dianjurkan oleh agama untuk memperhatikan kesehatannya. Karena kesehatan erat kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan janin. Bahkan ada kewajiban agama yang digugurkan atau ditangguhkan pelaksanaannya, seperti puasa (Quraish Shihab, ibid) kemudian apabila anak telah lahir maka disambut dengan rasa syukur dengan diazankan dan diiqamahkan. Hal ini dimaksudkan untuk pengisian sisi otak kanan dengan akidah, lâ ilaha illa Allah wa muhammad rasulullah sebagai pegangan hidup di dunia yang beraneka ragam dan sisi otak kiri sebagai realisainya dengan mempraktekkan syariah. Rasa syukur ini direalisasikan juga dalam bentuk pemberian nama yang baik dan upacara akikah.
4.      Apabila anak sudah menginjak remaja, orang tua harus mendidiknya dengan sebaik-baik dan semaksimalnya. Keluarga merupakan pendidikan non-formal dan sangat menentukan baik-buruknya (akhlak) seorang anak. Bahkan dapat dikatakan keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama dari seorang anak.
5.      Perekat bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban. Ini disyariatkan Allah kepada ibu bapak dan anaknya. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga, yang pada akhirnya akan melahirkan rasa aman, bahagia dan sejahtera. Ibu, umpamanya, dalam bahasa Arab disebut dengan umi, yang seakar dengan kata ummah (umat) berarti ibu yang melahirkan yang terpikul di pundaknya pembinaan anaknya, karena kehidupan keluarga merupakan tiang umat, tiang negara dan bangsa. Memang pendidikan di keluarga tugas utama ibu dan bukan berarti bapak lepas tangan. Padahal Luqman dalam al-Qur’an sebuah isyarat bahwa bapak juga terlibat dalam pendidikan anak-anak, di samping kewajiban sandang pangan, keuangan dan lain-lain.
6.      Kepemimpinan dalam keluarga termasuk isu pokok dalam Islam. Bagaimana pun kecilnya suatu kelompok, perlu perhitungan yang baik dan benar. Untuk itulah Allah dalam al-Qur’an mencontohkan bagaimana kecermatan-Nya mengatur alam semesta yang tidak akan pernah ditemukan cacat sedikit pun (al-Mulk/67: 1-4).


III.        Penutup
Konsep keluarga dalam Islam cukup jelas bahkan Islam sangat mengutamakan pembinaan individu dankeluarga. Hal ini wajar karena keluarga merupakan prasyarat baiknya suatu bangsa dan negara. Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baitî jannatî (rumah ku adalah surgaku). Allah a’lam bi al-shawâb.


IV.        Daftar Kepustakaan
Baiquni, Ahmad, Islam dan Orientasi Pemecahan Masalah Pembangunan Indonesia, Makalah Seminar Nasional IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 17-19 Oktober 1983.
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, 1992.
Al-Thaba Thaba’i, al-Mîzân fi al-tafsîr al-Qur’an, Beirut: Mu’assisat al-A’lami li al-Mathbu’at, 1983.
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: Rajawali, 1994.
............, Islam dan Iptek Dalam Era Global, Padang: IAIN Press, 1996.
id.shvoong.com

Padang,     April 2012



[1] Makalah disampaikan pada acara Orientasi Pembinaan Keluarga Sakinah tingkat Sumatera Barat, Selasa 10 April 2012 di Edotel Bundo Kanduang Padang.

Tidak ada komentar: