KONSEP KELUARGA DALAM AGAMA
ISLAM
Oleh:
Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. [1]
Kata Islam
berasal dari bahasa Arab, yang berarti selamat dan sejahtera. Islam juga
berarti tunduk dan patuh. Kedua arti Islam ini bisa direkonsiliasikan, untuk
dapat selamat dan sejahtera seseorang harus tunduk dan patuh terhadap semua
aturan Allah swt.
Alam semesta (universe) sebenarnya juga Islam terhadap Allah
(Fushshilat/41 11).
Kemudian semua agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan para rasul-Nya
adalah Islam. Berikutnya kata Islam
ini dijadikan Allah untuk nama agama terakhir yang dibawa oleh nabi terakhir,
yakni Nabi Muhammad
SAW. Ini merupakan sesuatu yang sudah disengajakan oleh Allah.
Kehadiran Islam sebagai agama wahyu yang
terakhir dimaksudkan untuk meluruskan garis lurus agama-agama sebelumnya.
Dengan lain kata, Islam tidak hanya membenarkan agama lain, juga kebenaran yang
ada dan sekali gus mengemukakan koreksian terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di dalam agama-agama lain tersebut, kemudian memberikan penjelasan
tentang kebenaran itu. Inilah keistimewaan Islam, ia terbuka terhadap unsur
luar selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar atau prinsip pokok dari
ajaran-ajarannya.
Islam adalah agama rahmatan li al-‘âlamîn (agama kasih sayang) yang amat sempurna. Ia
cocok untuk segala tempat dan etnis (al-shâlih
li kulli zamân wa makân). Islam
adalah agama wahyu taraf terakhir dari proses evolusi agama sejak dari Nabi
Adam as. Agama diturunkan Allah sesuai dengan tingkat kecerdasan manusia yang
menerimanya. Agama yang diberikan kepada Nabi Adam as adalah agama tingkat kecerdasan manusia adalah
tingkat bayi. Begitulah seterusnya kepada nabi-nabi lain, tingkat kecerdasan
anak-anak, remaja dan lainnya. Karena itu agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang disebut Islam adalah agama tingkat kecerdasan manusia yang
sudah dewasa. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk masalah baru yang muncul,
sudah ada solusinya dalam Islam. Atas dasar itulah tidak perlu lagi tambahan
agama atau agama baru sesudah Islam (lâ
nabiy ba’dahu).
Tulisan ini berbicara tentang konsep keluarga menurut
agama Islam sebagai pengantar diskusi dalam orientasi keluarga sakinah tingkat
Provinsi Sumatera Barat tahun 2012 di Padang yang diadakan oleh Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat. Penulis berharap tulisan ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi peserta.
I.
Islam, Agama Rahmat Li al-‘alamin
Islam adalah agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW, dengan perantaraan Jibril. Yang dimaksud wahyu di sini adalah al-Qur’an
dan teks Arabnya. Hal ini berarti teks Arab wahyu bukanlah berasal atau pilihan
dari Nabi sendiri, melainkan seutuhnya dari Allah, yang disebut Kalam Allah. Oleh karena itu, teks Arab
al-Qur’an jika diganti dengan teks Arab sinonimnya atau diubah susunan katanya,
atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka teks Arab penggantian dan
perubahan susunan kata tersebut, juga terjemahannya bukanlah wahyu yang
bersifat absolut, melainkan adalah penafsiran dan hasil pemikiran manusia yang
bersifat relatif. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahannya itu tidak mengikat
manusia, sedangkan wahyu dalam teks Arab itulah yang mengikat bagi manusia.
Berbeda dengan sifat dasar al-Qur’an sebagai sumber pertama dari ajaran
Islam, Hadis, sebagai sumber nomor kedua bukanlah wahyu dalam arti di atas.
Hadis pada umumnya mengandung ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan ketetapan
Nabi. Beliau terpelihara dari kesalahan dan menjadi ma’shum. Dengan kata lain, apabila ada ucapan, perbuatan dan
ketetapan beliau itu benar. Ia pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas tentang
isi al-Qur’an. Adapun hadits yang sama kuatnya dengan al-Qur’an dalam
keabsolutan dan kebenaran mutlaknya adalah hadis mutawatir, yang jumlahnya
sangat sedikit.
Dengan demikian ajaran Islam terdiri dari kelompok ajaran yang bersifat
absolut, universal, kekal dan tak berubah, sebagai terdapat dalam al-Qur’an
dengan teks Arabnya dan hadis mutawir. Jumlah ajaran seperti ini amat sedikit
jumlahnya. Selain itu, ada pula kelompok ajaran Islam hasil ijtihad dan
kewenangan manusia dalam menjabarkan ajaran-ajaran dasar tersebut. Ajaran Islam
kelompok ini bersifat tidak absolut, tetapi relatif, bisa berubah dan bisa
diubah bahkan kadang-kadang harus diubah karena tidak cocok lagi dengan zaman.
Jelas kiranya bahwa ajaran Islam tentang hidup kemasyarakatan dan masalah
keduniaan datang dalam prinsip-prinsip pokok kerja saja, maka untuk
mengoperasionalkannya diserahkan sepenuhnya kepada akal manusia. Karena itulah seperti
telah disebutkan bahwa ajaran Islam selalu serasi dengan konteks zaman dan
kemajuan masa. Agaknya di sinilah letaknya
kerasionalan dan kedinamikaan ajaran Islam tanpa mengenal batas geografis dan
etnis. Seandaninya ajaran absolut dalam jumlahnya besar dan rinci, maka
dinamika masyarakat yang diatur oleh sistem tersebut akan menjadi terikat dan
perkembangan masyarakat akan menjadi terhambat.
Islam sangat mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahkan ia
mendorong pemeluknya supaya mencari ilmu pengetahuan sampai kapan dan di mana
pun. Ia juga menempatkan pakar ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi.
Sejarah Islam mencatat, betapa sungguh-sungguhnya umat Islam zaman klasik
mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Konon kabarnya Khalifah Al-Makmun
sendiri berkenan membayar jasa penterjemah dengan emas yang sama beratnya
dengan buku yang diterjemahkan. Jasa umat Islamlah yang mengembangkan ilmu dari
Yunani bersifat spekulatif, yang dicontohkan bagai sebuah kebun yang subur,
penuh dengan bunga-bunga yang indah, tapi sayangnya tidak banyak berbuah, kaya
dengan filsafat dan sastra, tapi miskin dengan teknik dan teknologi, menjadi
ilmu (sains) yang dilandasi metode Jabir bin Hayyan yang sifatnya empiris
eksperimental (Ahmad Baiquni, h.12)
Sikap positif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan ini sepenuhnya diilhami
al-Qur’an dan hadis sebagai sumber dorongan. Berbeda dengan agama Barat, Islam
sebagai agama memiliki hubungan simbiotik dengan ilmu pengetahuan dalam
kerangka keimanan. Dalam Islam tidak pernah ditemukan pembunuhan terhadap
ilmuwan yang berhasil dalam rangka menemukan hal-hal yang dalam ilmu pengetahuan.
Bahkan Islam menawarkan pahala bagi umatnya yang berijtihad di bidangnya
sekalipun salah.
Islam adalah agama ilmu pengetahuan. Ia sangat serasi dengan sifat dasar
manusia. Manusia diciptakan Allah dinamis dan berilmu pengetahuan
(al-Baqarah/2: 31). Manusia (Adam dan keturunannya) diciptakan Allah dari tanah
bumi ini. Kendatipun keturunan Adam tidak disebut secara eksplisit dari tanah,
namun sesuai dengan hasil penilitian sains, unsur kimiawinya sama dengan unsur
kimiawi tanah bumi ini. Jadi, manusia adalah makhluk bumi yang dibekali dengan
akal dan ilmu pengetahuan, karena ia akan mengemban tugas sebagai khalifah. Ini
berarti betapa pun canggihnya perkembangan ilmu pengetahuan di alam semesta ini
akan dapat dijangkau oleh daya nalar manusia, karena penciptaan manusia dan
alam semesta telah diberi keharmonisan indah dan merupakan satu kesatuan yang
organik. Menurut Andi Hakim Nasution keadaan ini memungkinkan karena manusia
memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai
jenis makhluk lainnya. Penciptaan manusia memang penuh keunikan. Menurut temuan
ilmu pengetahuan seperti yang dijelaskan Prof. B. J. Habibie, cara kerja otak
manusia sangat luar biasa, andaikan ia dibuat bentuk komputer akan dibutuhkan
komputer sebesar bola bumi ini.
Islam adalah agama yang menghendaki terwujudnya suatu kehidupan yang
sejahtera lahir, batin, dunia dan akhirat. Untuk itu manusia harus berperan
aktif dan tidak boleh berpangku tangan.
II.
Ajaran Islam Tentang Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa keluarga ialah ibu bapak dengan anak-anaknya. (h.143) Pada
prinsipnya pengertian keluarga dalam berbagai referensi hampir sama,
perbedaannya terletak dalam pengungkapannya saja. Silviciond dan Arocelis,
misalnya, mengemukakan keluarga adalah dua atau lebih dari individu yang
tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan dan pengangkatan, yang
mereka hidupnya dalam suatu rumah, berinteraksi satu sama lain dan perannya
masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan satu budayanya. (id.shvong.com)
Jadi keluarga dapat dikatakan unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas suami istri (ibu bapak) dan
anak-anaknya yang tinggal pada suatu tempat dan saling ketergantungan. Keluarga
itu dapat dibagi atas dua kategori:
a. Keluarga besar, yakni keluarga yang terdiri atas
ibu bapak dan beberapa anak serta lain-lainnya.
b. Keluarga inti, yakni keluarga yang terdiri atas
suami istri.
Keluarga diperkotaan pada umumnya
disebut dengan RT (rukun tetangga) dan gabungan beberapa keluarga disebut
dengan RW (rukun warga). Sedangkan di pedesaan keluarga juga disebut dengan RT,
sedangkan gabungan dari beberapa RT disebut dengan suku, seperti Chaniago,
Sikumbang dan lain-lain. Dalam bahasa Arab keluarga disebut dengan al-‘usrah. Sedangkan kata qabâ’il jamak dari qabîlah lebih cenderung diartikan dengan suku-suku (al-Hujurât/49:
13).
Islam sebagai agama yang tujuan
utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam sangat mementingkan
pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang
baik, sebaliknya pribadi yang rusak akan melahirkan keluarga yang rusak.
Demikian juga seterusnya, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang
baik. Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah sebagai mandataris-Nya.
Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah
digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya itu ia dapat mengeksploitasinya untuk
tujuan-tujuan yang baik. Dengan kata lain, ia harus mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya dan mampu pula melestarikan alam ini. Karena alam yang diciptakan Allah ini bukanlah alam yang siap pakai,
tetapi ia harus diolah dan dibangun oleh manusia menjadi suatu alam yang baik.
Adanya anggapan alam ini sebagai suatu tempat yang siap pakai, merupakan suatu
kekeliruan. Anggapan yang menyesatkan ini bertentangan dengan tugas manusia di
bumi sebagai mandataris-Nya (Sirajuddin Zar, h.46). Justru itu amat wajar Islam
mengutamakan pembinaan terhadap individu dan keluarga. Untuk lebih jelasnya
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Adam as dan keturunannya diciptakan Allah
berpotensi mendapatkan ilmu pengetahuan (al-Baqarah/2:31) kemudian Allah
mengungkapkan sifat atau fenomena alam kepada manusia yang disebut dengan sunatullah.
Ia berbeda dengan hukum alam Barat. Maksud sunatullah dalam Islam ialah Allah
menciptakan segala sesuatu memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengan sifatnya
itu ia bersifat otonom dan kosmopolitan di alam, tetapi bukan otokrasi. Allah
menciptakan api panas, dan ia otonom panasnya serta selalu panas. Sunnatullah
atau rancangan ciptaan Allah ini, tidak akan
berubah dan ia akan membakar apapun yang mendekat padanya tanpa ia
bedakan. Kalau api tidak panas harus diganti namanya. Sedangkan hukum alam
barat, alam berfenomena menjadikan api panas, tetapi bukan diciptakan. Kata taskhîr dalam al-Qur’an (Lihat:
al-Jatsiyah/45: 13) menunjukkan arti bahwa Allah sengaja mengungkapkan
sifat-sifat atau fenomena alam kepada manusia. Dengan menyusun sifat-sifat
benda di alam, manusia dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan mengembangkannya.
Selain itu, agar manusia tetap baik dan bersih, Allah menciptakan roh pada diri
manusia (min rûhî; lihat:al-Hijr/15:29
dan Shâd/3872) yang bersifat suci
bahkan sucinya, menurut Tafsir al-Mizan dihubungkan dengan kesucian Allah
(al-Thaba Thaba’i, juz 12,h.155). Dengan demikian Allah menciptakan manusia
sesuai dengan fitrahnya, potensi suci, beriman kepada Allah (al-‘Araf/7: 172
dan al-Rûm/30: 30).
2. Allah mendorong manusia agar melaksanakan
pernikahan (al-Rûm,/30: 21). Untuk itu Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam
diri manusia. Atas dasar inilah manusia saling ketertarikan terhadap lawan
jenis. Islam juga menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik adalah yang
beragama. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda: (artinya) “Biasanya seorang
wanita dikawini karena empat faktor; karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya. Maka, raihlah yang memiliki agama, karena kalau
tidak tanganmu akan berlumuran tanah, hidupmu miskin atau sengsara.” Hadis
riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah. (Lihat: Quraish
Shihab, hal. 254) Ada seseorang yang datang kepada Hasan al-Bashri untuk
meminta pandangannya tentang memilih lamaran dua orang pemuda terhadap
putrinya. Nasihat Hasan al-Bashri terimalah yang paling baik agamanya, karena
jika ia senang terhadap istrinya pasti ia menghormatinya; sedang bila ia
membencinya maka ia tidak akan menganiayanya. Seseorang pernah pula mengeluh
kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada istrinya telah memudar dan ia
bermaksud menceraikannya. Umar menasehatinya: “Sungguh jelek niatmu, apakah
semua rumah tangga terbina dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada
Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang
suami istri, telah saling bergaul (menyampaikan rahasia) dan istrimu telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat. (Quraish Shihab, ibid). Agama dalam pernikahan merupakan fondasi yang kokoh dalam
membangun kehidupan berkeluarga. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat
al-Nisâ’/4:19, yang artinya: .... Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak senang terhadap mereka, tetapi Allah
menjadikan dibalik itu kebaikan yang banyak.
Tali pernikahan inilah yang diistilahkan dengan mitsâq qhâliz (tali yang kokoh). Suami
istri sangat berpeluang untuk kecocokan karena masing-masing berasal dari jenis
yang sama, min nafs wâhidah, yakni manusia (al-Nisâ’/4: 1) dan suami istri
bagaikan pakaian masing-masing, hunna libâs
lakum wa antum libâs lahunna (al-Baqarah/2: 187). Atas dasar pernikahan ini
akan melahirkan kemesraan, kasih sayang, saling hubungan antara jiwa dengan
jiwa dan saling melindungi serta saling rela berkorban untuk kebahagiaan
pasangannya, yang pada puncaknya mencapai taraf sakinah.
3. Seorang ibu apabila hamil sangat dianjurkan oleh
agama untuk memperhatikan kesehatannya. Karena kesehatan erat kaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan janin. Bahkan ada kewajiban agama yang digugurkan
atau ditangguhkan pelaksanaannya, seperti puasa (Quraish Shihab, ibid) kemudian apabila anak telah lahir
maka disambut dengan rasa syukur dengan diazankan dan diiqamahkan. Hal ini
dimaksudkan untuk pengisian sisi otak kanan dengan akidah, lâ ilaha illa Allah wa muhammad rasulullah sebagai pegangan hidup
di dunia yang beraneka ragam dan sisi otak kiri sebagai realisainya dengan mempraktekkan
syariah. Rasa syukur ini direalisasikan juga dalam bentuk pemberian nama yang
baik dan upacara akikah.
4. Apabila anak sudah menginjak remaja, orang tua
harus mendidiknya dengan sebaik-baik dan semaksimalnya. Keluarga merupakan pendidikan
non-formal dan sangat menentukan baik-buruknya (akhlak) seorang anak. Bahkan
dapat dikatakan keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama dari seorang
anak.
5. Perekat bangunan keluarga adalah hak dan
kewajiban. Ini disyariatkan Allah kepada ibu bapak dan anaknya. Hal ini
dimaksudkan adalah untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga,
yang pada akhirnya akan melahirkan rasa aman, bahagia dan sejahtera. Ibu,
umpamanya, dalam bahasa Arab disebut dengan umi,
yang seakar dengan kata ummah (umat)
berarti ibu yang melahirkan yang terpikul di pundaknya pembinaan anaknya,
karena kehidupan keluarga merupakan tiang umat, tiang negara dan bangsa. Memang
pendidikan di keluarga tugas utama ibu dan bukan berarti bapak lepas tangan.
Padahal Luqman dalam al-Qur’an sebuah isyarat bahwa bapak juga terlibat dalam
pendidikan anak-anak, di samping kewajiban sandang pangan, keuangan dan
lain-lain.
6. Kepemimpinan dalam keluarga termasuk isu pokok
dalam Islam. Bagaimana pun kecilnya suatu kelompok, perlu perhitungan yang baik
dan benar. Untuk itulah Allah dalam al-Qur’an mencontohkan bagaimana
kecermatan-Nya mengatur alam semesta yang tidak akan pernah ditemukan cacat
sedikit pun (al-Mulk/67: 1-4).
III.
Penutup
Konsep keluarga dalam Islam cukup
jelas bahkan Islam sangat mengutamakan pembinaan individu dankeluarga. Hal ini
wajar karena keluarga merupakan prasyarat baiknya suatu bangsa dan negara.
Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah
akan memberikan hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baitî jannatî (rumah ku adalah surgaku).
Allah a’lam bi al-shawâb.
IV.
Daftar Kepustakaan
Baiquni, Ahmad, Islam dan Orientasi Pemecahan Masalah Pembangunan Indonesia, Makalah
Seminar Nasional IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 17-19 Oktober 1983.
DEPDIKBUD, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, 1992.
Al-Thaba Thaba’i, al-Mîzân fi al-tafsîr al-Qur’an, Beirut: Mu’assisat al-A’lami li
al-Mathbu’at, 1983.
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta:
Rajawali, 1994.
............, Islam
dan Iptek Dalam Era Global, Padang: IAIN Press, 1996.
id.shvoong.com
Padang,
April 2012
[1] Makalah disampaikan pada
acara Orientasi Pembinaan Keluarga Sakinah tingkat Sumatera Barat, Selasa 10
April 2012 di Edotel Bundo Kanduang Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar