PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: MARLINOF, SH., MH
JAKSA pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat
I.
PENDAHULUAN
Perbuatan Tindak Pidana Korupsi merupakan
salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih (White Colour Crime)
yang termasuk kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Sehingga upaya penanggulangannya harus
dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary counter
measure).
Saat ini korupsi di Indonesia tercinta ini tidak pernah surut, dan ada
kekhawatiran semakin luas. Korupsi seperti sudah menjadi ”budaya” di Indonesia
dari sejak zaman kerajaan, penjajahan, zaman kemerdekaan mulai orde lama, orde
baru dan orde reformasi. Upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak
boleh lemah. Sinergitas antar instansi
penegak hukum dengan instansi pengawasan eksternal dan internal serta masyarakat
sangat diperlukan. Pengaduan masyarakat dan pengaduan internal
instansi/BUMN/BUMD (Wishel Blowers) harus kita hargai dan kembangkan
sebaik-baiknya. Kita semua mengetahui kalau ada asap pasti ada apinya. Alat
bukti dibuat semakin luas dari alat bukti surat, keterangan saksi, keterangan
ahli termasuk bukti yang bersifat elektronik harus semakin kita peroleh dan
gunakan sebaik-baiknya.
Jeremy Pope
mensinyalir korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan.
Pertama, karena :
-
melemahnya nilai-nilai
sosial,
-
kepentingan pribadi
menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum,
-
serta kepemilikan
benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial
sebagian besar orang.
Kedua, karena :
-
tidak ada transparansi
dan tanggung gugat sistem integritas publik.[1] Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh
lini kehidupan/dan sepertinya telah menyatu dengan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Meningkatnya aktivitas
korupsi, menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim, baik yang
sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena terjadinya
perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan
tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum.[2]
Tujuan pokok dan
pertama dari segala hukum adalah ketertiban, kebutuhan terhadap ketertiban ini
syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Manusia tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa atau di luar masyarakat, maka
manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat
dipisah-pisahkan (ubi societas ibi ius).[3] Norma hukum menjadi simbol utama dalam kehidupan bermasyarakat, karena
norma hukum merupakan rangkuman dari norma-norma dan kaidah-kaidah yang sudah
disepakati oleh masyarakat yang pembentukannya diwakilkan oleh para wakil
rakyat yang duduk di lembaga legislatif. Upaya pemberantasan korupsi dengan
norma hukum, harus terus berjalan tanpa pandang bulu.
Dalam menegakkan
supremasi hukum harus disertai dengan pemahaman bahwa manusia merupakan insan
pokok (pelaku utama) dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan, seperti
yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman : “the legal system is not a machine, it is run by human beings,”[4] maka untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang sebenar-benarnya, maka
tidak hanya sistem peraturan perundang-undangan saja yang baik dan memadai,
tetapi juga manusia -dengan perilakunya- juga harus memiliki kepribadian yang
baik, memiliki kemampuan dan integritas yang layak dan tinggi serta memiliki
kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku, baik itu oleh aparatur penegak
hukum maupun oleh seluruh anggota masyarakat.
- PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KORUPSI.
Pembentukan hukum
positif guna menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa
perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan
perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan pada
tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Pengusaha Militer yang berlaku di
daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957).
Beberapa peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di Indonesia
sebagai berikut :
1.
Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri atas :
a.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Pengusaha Militer Angkatan Darat berlaku untuk
daerah kekuasaan Angkatan Darat.
b.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara
untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai
bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya)
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c.
Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan
yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyiataan harta
benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu keputusan
dari Pengadilan Tinggi.
d.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Darat Nomor PRT/PEPERPU/0313/1958 serta peraturan pelaksanaannya.
e.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal
17 April 1958.
2.
Masa undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun./ 1960 tentang
Pengusutun, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3.
Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19;
TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Perumusan tindak
pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut.
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan
memperkaya didi sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung
atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangagan , kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c Barang
siapa melakuakan kejahatan tercantum dalam Pasal 387, 388,415,416, 417, 418,
419, 420, 423, 425, dan 435 KHUP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pengawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengigat suatu kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau olehsipemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang
wajar dalam waktu yang sesingkat-singakatnya setelah menerima pemberian atau
janji yang diberikan kepadanya, seperti yang terdapat dalam pasal 418, 419, dan
420 KHUP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barang siapa melakukan percoabaan
atau permufakatan untuk melakukan
tindakan pidana korupsi.
Kemajuan antara
perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 dengan
peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat diakatan ada beberapa
kemajuan. Kemajuan tersebut meliputi :
a.
Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur “melawan
hukum”, sedangkan peraturan terdahulu dirumuskan dengan unsur “dengan atau
karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”.
b.
Bentuk delik korupsi merupakan “delik formil”, berarti
bahwa delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merumuskan dalam
unsur-unsurnya serta bentuknya, akibat nyata dari perbuatan dari tindak
disyaratkan untuk selesainya delik, sedangkan peraturan sebelumnya merumuskan
korupsi sebagai delik materiil.
c.
Apabila dalam peraturan terdahulu perumusan terbagi dalam
tiga bagian tindak pidana korupsi yang hanya bersifat luas dan umum, tindak
pidana korupsi yang berupa peyalahguanaan kewenangan atau jabatan serta
beberapa pasal delik jabatan dalam KHUP, maka dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 di samping hal itu masih dirumuskan pula tindak pidana suap aktif dan suap
pasif yang tidak dilaporkan dalam waktu sesingkat-singkatnya oleh penerima
hadiah atas pemberian tersebut.
Perluasan bentuk
tindak pidana korupsi berupa :percobaan dan permufakatan” melakukan tindak
pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (delik
selesai).
4.
Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40;
TNLRI 4150) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134; TNLRI 4150) tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137; TNLRI 4250)Tentang komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
- PENGERTIAN
KORUPSI.
1.
Korupsi dalam bahasa
Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie,
dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta di
dalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya
menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan
keuangan (Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan
Keempat, 1996, hal 115).
2.
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah
dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada
perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan
delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Dalam UU pemberantasan T.P Korupsi dpt dikelompokan menjadi 7 kelompok
mengenai bentuk Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
a.
Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara,
sebagaimana yg diatur dalam Psl 2 dan Psl 3.
b.
Kelompok tindak pidana penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif
(yang disuap) (Psl 5, Psl 6, Psl 11, Psl 12 a, b, c, d, Psl 13)
c.
Kelompok tindak pidana perbuatan curang (Psl 7, Psl 12 Huruf h & i)
d.
Kelompok tindak pidana penggelapan dalam dalam jabatan (Psl 8 & Psl
10)
e.
Kelompok tindak pidana pemalsuan (Psl 9)
f.
Kelompok tindak pidana pemerasan (Psl 12 huruf e, f, & g)
g.
Kelompok tindak pidana gratifikasi (Psl 12, Psl 13)
II.
RUMUSAN, KLASIFIKASI DAN TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
A. PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Jika diperhatikan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak
pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2
(dua) segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.
Yang dimaksud dengan korupsi
aktif adalah sebagai berikut :
a.
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (Pasal 2 Undang-Undang Nommor 31 Tahun 1999)
b.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenanggan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatanya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
c.
Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999).
d.
Percobaan pembuatan atau pemufakatan jahat atau malakukan
tindak pidana korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
e.
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau menyelenggarakan negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatanya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
f.
Memberi sesuatu kepada pengawai negeri atau
penyelenggaran negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentanggan
dengan kewajibanya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5
Ayat (1) huruf b Undang-Undang No 20
Tahun 2001).
g.
Memberikan atau menjajikan sesuatu kepada Hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk di adili (Pasal 6 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
h.
Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan orang atau barang,
keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001).
i.
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, segaja membiarkan perbuatan curang sebangai mana
dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001).
j.
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
k.
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan segaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf
c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
l.
Pengawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan siatu jabatan umum secara terus-menerus atau
sementara waktu, degan segaja mengelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berhatga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
m. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberikan tugas menjalankan
sesuatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan segaja
memalsukan buku-buku terus-menerus atau daftar-daftar yang khusus untuk
memeriksa administrasi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
n.
Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu
dengan sengaja menggelapkan, manghancurkan, merusakan, atau membuat tidak pakai
barang, akta, surat, atau daftar yang di gunakan untuk meyakinkan atau untuk
membuktikan di muka pejabatyang berwenang, yang di kuasai karena jabatannya,
atau membiarkan orang lain menghilangkan, manghancurkan, merusakan, atau
membuat tidak dapat di pakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
o.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang:
Ø Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan
sesuatu, atau menerima bayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri ( Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
Ø Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran
bagi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang ( huruf f ).
Ø Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang seolah-olah merupakan utang pada ( huruf g )
Ø Pada waktu menjalankan tugas tugas telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Ø Baik lansung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atu persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk
seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
p.
Memberi hadiah kepada pengawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
memberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu
(Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Yang dimaksud korupsi pasif adalah sebagai berikut :
a.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya
yang bertentangan dengan kewajiabanya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001).
b.
Hakim negeri atau advokat menerima pemberian atau janji
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili atau
untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
c.
Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian negara Republik Indonesia
yang membiarkan perbuatan curang sebagai mana yang dimaksut dalam ayat (1)
huruf a dan huruf c dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksut dalam
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ( Pasal 7 ayat (2)Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001).
d.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal di ketahui atau patut diketahui atau patut di duga,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada berhubungan dengan jabatan nya (Pasal 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
e.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janjipadahal diketahui atau patut di duga, bahwa hadiah atau janji
tersebut di berikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (pasal 12 huruf a
dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
f.
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal di ketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
g.
Advokat yang menerima hadiah atau janji itu di berikan
untuk mempengaruhi nasehat atau pedapat yang diberikan berhubungan dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001).
h.
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
B. KLASIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
a.
Kelompok tindak pidana merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara, sebagaimana yg diatur dalam Psl 2 dan
Psl 3.
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 2 ayat (1) ini memiliki unsur delik :
1.
Melawan hukum
2.
Memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi
3.
Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur melawan hukum.
Pengertian unsur
melawan Hukum secara resmi dimuat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.
Yang dimaksud dengan “ Secara melawan Hukum” dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini,
kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat.
Perbuatan melawan
hukum secara formil adalah semua perbuatan yang sesuai dan cocok dengan
perumusan undang-undang, apabila undang-undang telah melarangnya dan ada suatu
perbuatan yang sesuai dengan perumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut
merupakan perbuatan hukum secara formil. Sedangkan perbuatan hukum dalam arti
materil ialah perbuatan yang selain dari perbuatan tersebut dilarang dan
diancam oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak patut dan sangat
tercela, perbuatan tersebut harus bersifat bertentangan baik dengan hukum yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Perbuatan melawan
hukum adalah perbuatan :
1.
Yang bertentangan
dengan hukum yang objektif.
2.
Bertentangan dengan
hak subjektif dan orang lain.
3.
Perbuatan itu tanpa
hak.
4.
Perbuatan itu tidak
patut dan tercela.
Menurut Indriyanto
Seno Adji dalam bukunya Korupsi dan Hukum Pidana tahun 2001 menyatakan
Pengertian Melawan Hukum dalam tindak
pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana, dengan maksud secara melawan hukum mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
dapat dipidana.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, SH, Pemberantasan
Korupsi Suatu Komentar, Pradja Paramita, Jakarta, 1983, halaman 8, “Istilah
Melawan Hukum merupakan terjemahan dari wederrechtelijk. Dalam Doktrin mengenai
wederrechtelijk ini terdapat dua aliran besar
yakni :
a. Wederrechtelijk
Formal ;
b. Wederrechtelijk
Materieel.
Aliran
formal mengajarkan suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Aliran ini mendasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang tertulis.
Aliran
Materieel mengajarkan suatu perbuatan mungkin melawan hukum meskipun tidak
secara tegas dilarang dan diancam dengan undang-undang. Aliran ini mendasarkan
pada ketentuan-ketentuan tidak tertulis yang hidup di masyarakat seperti
asas-asas umum yang berlaku “
Penjelasan
Pasal 2 Ayat (1) UU No 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan
secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup Perbuatan Melawan Hukum dalam
arti Formil maupun Materiil yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela dan tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan
tersebut dapat dipidana”
Dengan keluarnya
putusan mahkamah konstirusi yang membatalkan perbuatan melawan hukum materil
maka perbuatan melawan hukum yang diterapkan dalam perkara tindak pidana
korupsi hanya perbuatan melawan hukum formil, yaitu bertentangan atau melanggar
peraturan perundang-undangan.
Unsur
memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Istilah memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel)
merupakan istilah baru dalam hukum pidana Indonesia karena dalam KUHP tidak
dikenal istilah itu. Secara harfiah, “memperkaya diri” artinya menjadikan
bertambah kaya. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan
Poerwadarminta, “kaya” artinya mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya).
Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya
menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, SH, MM, Penerapan
Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, CV. Mandar Maju 2001, Hal 65, yang
dimaksud dengan mamperakaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi menurut
ketentuan ini ialah selalu dengan terus menerus tanpa berhenti menambah harta dan
kekayaan dengan jalan melawan hukum. Hingga kekayaan yang diperolah sebagai
tambahan itu tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang dia miliki.
Sedangkan menurut
pertimbangan Pengadilan Negeri Medan tanggal 13 Oktober 1981 Nomor : 219/KTS/1981
PN Medan dan tanggal 1 Oktober 1981 “….. pengertian memperkaya diri sendiri itu
berarti relatif, artinya suatu perbuatan / kegiatan yang menjadikan suatu
kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu dijadikan lebih meningkat
lagi dalam pengertian yang tetap relatif, walaupun secara subjektif orang yang
bersangkutan mungkin merasa belum kaya...” dan menurut pengadilan Negeri
Purwokarta melalui putusannya tanggal 16 September 1981 Nomor perkara J.214/ 1981 “ memperkaya diri sendiri
harus ditafsirkan membuat kaya orang lain tanpa melihat sudah kaya, tidak /
belum kaya dengan jalan melawan hukum “ , Vide Andi Hamzah, Korupsi di
Indonesia, Jakarta, Gramedia 1984, hal,100.
Unsur
merugikan keuangan atau perekonomian negara
§ Sebelum keluar Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, secara
administratif pengelolaan keuangan negara mengacu kepada Indische
Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448. pengertian
keuangan negara dari sudut pandang administratif keuangan baru diatur secara
yuridis setelah keluarnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
§ Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut, dan dalam Pasal 2 disebutkan bentuk-bentuk Keuangan Negara
seperti yang dimaksud Pasal 1 Angka 1 tersebut, antara lain : Hak negara untuk
memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara
dan membayar tagihan pihak ketiga; Penerimaan Negara; Pengeluaran Negara;
Penerimaan Daerah; Pengeluaran Daerah; Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; Kekayaan pihak lain
yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan/atau kepentingan umum; Kekayaan pihak lain
yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
§ Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang
dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”.
Pengertian dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah kerugian negara tidak
harus telah terjadi tetapi cukup apabila perbuatan terdakwa berpeluang
memungkinkan timbulnya kerugian negara atau perekonomian negara, sehingga tidak
perlu dibuktikan adanya kerugian negara, karena adanya kata “dapat” . Selanjutnya yang dimaksud dengan “Keuangan Negara” adalah meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang
mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Pengertian “Keuangan negara atau perekonomian negara” dijelaskan pada penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut:
Keuangan negara
dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan
atau pun tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karenanya :
1.
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung
jawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat maupun daerah.
2.
Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung
jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,Yayasan,Badan Hukum
dan Perusahaan yang penyertaan modal negara atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara” adalah
kehidupan perekonomian yang disusun dalam usaha bersama berdasarkan asas
kekeluarggan ataupun usaha masyarakat secara sendiri yang didasarkan pada kebijaksanaan
pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan memberikan manfaat
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
PASAL 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal 3 ini memiliki unsur delik :
1.
Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
2.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan.
3.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Penjelasan unsur ini relatif sama dengan unsur memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, karenanya
tidak perlu diuraikan lagi.
Unsur menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
Unsur menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan ditujukan kepada TUPOKSI yang digunakan untuk tujuan lain selain yang
dimaksud oleh tugas itu sendiri.
Unsur dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan unsur ini relatif sama dengan unsur memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, karenanya
tidak perlu diuraikan lagi.
b.
Kelompok tindak pidana penyuapan (Psl 5, Psl 6, Psl 11, Psl 12 a, b, c, d, Psl
13)
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1)Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; atau
b. memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
Pasal 13
Setiap orang yang memberi
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
c.
Kelompok tindak pidana perbuatan curang (Psl 7, Psl 12 Huruf h & i)
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang
pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
(2)
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Psl 12 Huruf h & i
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah
merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara
baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
d.
Kelompok tindak pidana penggelapan
dalam jabatan (Psl 8 & Psl 10)
Pasal 8 :
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 10 :
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut.
e.
Kelompok tindak pidana pemalsuan (Psl 9)
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
f.
Kelompok tindak pidana pemerasan (Psl
12 huruf e, f, & g)
Psl 12 huruf e
pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri;
Psl 12 huruf f
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
Psl 12 huruf g
pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
g.
Kelompok tindak pidana gratisfikasi (Psl 12 A , B)
Pasal 12 A
(1)
Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak
pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi
pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
C. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
a.
Melakukan percobaan, perbantuan/permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Korupsi (Psl 15).
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
b.
Memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana Korupsi diluar wilayah
negara R.I (Psl 16)
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia
yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
c. Menghalangi
pemeriksaan perkara korupsi (Psl 21)
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun
para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
d. Memberikan keterangan
yang tidak benar (Psl 22, Psl 28, Psl 29, Psl 35 & Psl 36)
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan,
tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda *9818 istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum,
atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur Bank Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen
permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau
hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan
terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas
permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga
mencabut pemblokiran.
Pasal 35
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai
saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau
suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila
mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa
disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
e. Saksi yang membuka
identitas pelapor (Psl 24 jo Psal 31)
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana
korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan,
larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang
lain tersebut.
III. PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Mengungkap perkara korupsi tidak semudah yang dibayangkan karena korupsi
hanya dapat dilakukan oleh orang cerdas yang punya kekuasaan dan jabatan serta
melibatkan sekelompok orang.
Penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dilakukan dengan memperhatikan :
1.
Pasal 26 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bukti
elektronik).
2.
KUHAP sebagai ketentuan umum yang mengatur hukum acara pidana.
3.
Perkara korupsi harus didahulukan dari perkara yang lain guna
penyelesaian secepatnya (pasal 25)
4.
Peraturan perundangan lain yang terkait dengan perkara tersebut.
A.
PENYELIDIKAN
Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yg berdiri sendiri, terpisah dr
fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau
sub daripada fungsi penyidikan. Latar belakang, motivasi & urgensi fungsi
penyelidikan antara lain adanya perlindungan & jaminan terhadap hak asasi
manusia, adanya persyaratan & pembatasan yg
ketat dlm penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan & adanya
lembaga ganti kerugian & rehabilitasi dikaitkan bahwa tdk setiap peristiwa
pidana yg terjadi & diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya
secara jelas sebagai tindak pidana
Pada tahap penyelidikan, seorang saksi yg diminta untuk hadir memberikan
keterangan dapat saja tdk memenuhi panggilan tersebut karena memang pada tahap
penyelidikan tidak ada upaya paksa untuk itu, sifatnya hanya pengumpulan bahan
keterangan, dan pada tahap ini belum dapat ditentukan siapa yang menjadi
tersangka.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
B.
PENYIDIKAN
Pasal 1 butir 2 KUHAP menentukan bahwa penyidikan merupakan
serangkaian tindakan penyidik dalam hal & menurut cara yg diatur dlm undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yg dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yg terjadi & guna menemukan tersangkanya.
Pada tahap penyidikan, seorang saksi yg dipanggil untuk memberikan
keterangan harus memenuhi panggilan tersebut karena pada tahap penyidikan telah
terdapat upaya paksa, bilamana seorang saksi tidak bersedia datang setelah
dipanggil secara sah & tidak terdapat alasan yg dapat dibenarkan maka saksi
tersebut dapat dijemput secara paksa oleh pihak penyidik.
Yang penting diketahui adalah bahwa saksi adalah orang yg dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan & peradilan
tentang suatu perkara pidana yg ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia
alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
Kesaksian yang dia dengar dari orang lain tidak mempunyai nilai sebagai
keterangan saksi yang biasa disebut dengan saksi de auditu (saksi yang
mendengar dari orang lain)
Seseorang yg diperiksa dlm kapasitas sebagai saksi setelah dilakukan
pemeriksaan oleh Tim Penyidik apabila didapat bukti kuat keterlibatan saksi
tersebut maka statusnya dapat ditingkatkan menjadi tersangka, pada status ini
ia berhak didampingi oleh Penasehat Hukum.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 KUHAP kewenangan yang dimiliki oleh
Penyidik:
a.
menerima laporan atau pengaduan dr seseorang ttg adanya tindak pidana;
b.
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.
menyuruh berhenti seorang tersangka & memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan & penyitaan;
e.
melakukan pemeriksaan & penyitaan surat;
f.
mengambil sidik jari & memotret seorang;
g.
memanggil orang untuk didengar keterangan sebagai tersangka atau saksi;
h.
mendatangkan seorang ahli yg
diperlukan dlm hubungannya dgn pemeriksaan perkara;
i.
mengadakan
penghentian penyidikan;
j.
mengadakan
tindakan lain menurut hukum yg bertanggungjawab.
Penggunaan upaya
paksa pada tahap penyidikan ini dilakukan dalam keadaan yang sangat terpaksa
serta harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan jangka waktunya terbatas
Pasal 116 – 119
KUHAP mengatur mengenai tata cara pemeriksaan saksi oleh Penyidik yakni :
a.
Saksi tidak
disumpah, kecuali terdapat alasan yg cukup bahwa saksi tidak dapat hadir di
persidangan;
b.
Saksi diperiksa secara tersendiri & dapat dipertemukan dengan saksi
lainnya;
c.
Pemeriksaan tanpa tekanan dari siapa pun & atau dalam bentuk apa pun,
akan tetapi saksi wajib memberikan keterangan yg sebenarnya;
d.
Keterangan dicatat dalam B.A.P. yg ditandatangani oleh penyidik &
saksi; apabila saksi tdk mau menandatanganinya maka penyidik mencatatnya dalam
berita acara dengan menyebutkan alasan yg kuat
e.
Saksi yang berada di luar daerah hukum penyidik, pemeriksaannya
dibebankan kepada penyidik di tempat saksi berada.
Hasil penyidikan yg dilakukan oleh Penyidik selanjutnya diserahkan ke
penuntut umum dalam suatu berkas perkara, & apabila penuntut umum kemudian
berpendapat bahwa berkas perkara telah sempurna & lengkap maka penyidik
menyerahkan tersangka berikut barang bukti kepada JPU untuk kemudian
dilimpahkan ke pengadilan.
C.
PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN.
Untuk dapat menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, berhubungan
dengan asas legalitas (priciple of legality) yakni memenuhi rumusan
undang-undang, sedangkan untuk menentukan pertanggungjawaban berhubungan dgn asas
kesalahan (culpabilitas). Berdasarkan kedua asas ini seseorang baru dapat
dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.
Untuk membuktikan seseorang dapat dipersalahkan sebagai pelaku tindak
pidana korupsi, di dlm proses peradilan pidana dipergunakan berbagai alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan alat bukti itu hakim akan
memperoleh keyakinan bahwa seseorang yg didakwa terbukti bersalah.
D.
PERLINDUNGAN TERHADAP
SAKSI DALAM PERKARA KORUPSI
Definisi saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan &
peradilan tentang suatu perkara pidana yg ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, & ia alami sendiri.
Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ada satu pasal yang bisa
dikategorikan memberikan kontribusi dalam perlindungan saksi, yaitu dalam pasal
31 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 166 KUHAP mengatur bahwa kepada saksi/tersangka/terdakwa tidak
boleh diberikan pertanyaan yg bersifat menjerat, semua keterangan harus
diberikan dalam keadaan bebas tanpa tekanan, serta pasal 229 KUHAP mengatur
mengenai penggantian biaya terhadap saksi yang telah hadir memberikan
keterangan di persidangan.
Di akhir tahun. 2005 terdapat perkembangan yang cukup menggembirakan
menyangkut perlindungan saksi dengan disusunnya RUU Perlindungan Saksi &
Korban dan saat ini sudah ditetapkan menjadi UU No.13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam psl 5 (1) dirumuskan bahwa
seorang saksi dan korban berhak :
a.
Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari
orang lain yg berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah
diberikannya atas suatu perkara pidana;
b.
Ikut serta dalam proses memilih & menentukan perlindungan &
dukungan keamanan;
c.
Memberikan keterangan tanpa
tekanan;
d.
Mendapat penerjemah;
e.
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.
Mendapatkan informasi mengenai putusan Pengadilan;
h.
Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.
Mendapat identitas baru;
j.
Mendapat tempat kediaman baru;
k.
Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l.
Mendapat nasehat
hukum ; dan / atau
m.
Memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Hak tersebut diberikan kepada saksi / korban tindak pidana tertentu
sesuai dengan keputusan LPSK.
Pasal 31 ayat (1) :
Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain
yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat
diketahuinya identitas pelapor.
Yang dimaksud dengan
pelapor adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai
terjadinya suatu tindak piadana korupsi.
E. PUTUSAN TANPA KEHADIRAN TERDAKWA (Pasal
38 UU No. 31 Tahun 1999)
1.
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa kehadirannya.
2.
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum
putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya di anggap sebagai
diucapkan dalam sidang sekarang.
3.
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
4.
Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas
putusan dimaksud. Panggilan yang sah ialah penyampaian undangan yang dilakukan oleh jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa agar
terdakwa dihadapkan pada sidang pengadilan yang telah ditentukan oleh Hakim.
Panggilan harus disampaikan kepada terdakwa, yaitu 3 (tiga) hari kerja sebelum
persidangan dimulai.
F. REHABILITAS DAN KOMPENSASI.
1.
Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan,
dan penuntutan, yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi secara
bertentangan dangan undang-undang atua dengan hukum yang berlaku, orang yang
bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan\atau kopensasi.
2.
Gugatan tidak mengurangi hak orang lain yang dirugikan
untuk mengjukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan pengajuan pra
peradilan .
3.
gugatan diajukan pengadilan negeri yang berwenang
mengadiliperkara tindak pidana korupsi.
4.
Dalam putusan pengadilan negeri dimaksut, ditentukan
jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan\atau
kopensasi yang harus dipenuhi.
G. ALAT BUKTI (Pasal 26A UU No. 20
Tahun 2001)
Alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk, kusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa
informasi yang di ucapkan, dikirimkan, di terima, atau di simpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat di lihat, dibaca dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,baik yang tertuang diatas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan suara,gambar, peta rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki angka.
c. Pasal 188 (2) KUHAP: petunjuk
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi surat, dan keterangan terdakwa.
H. ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK (Pasal
37, Pasal 37A dan Pasal 38B, serta Pasal 38C
UU No. 31 tahun 1999)
a.
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan Tindak pidana korupsi.
b.
Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa dia tidak
melakukan tindak Pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan Sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
c.
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan Harta benda istri atau suami, anak,dan harta benda seseorang
atau Koporasinya yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang di Dakwakan.
e.
Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak Seimbang sengan penghasilanya atau sumber penambahan kekayaannya
maka keterangan tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang Sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupi.
f.
Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Setiap orang yang didakwa
melakukan salah satu tindak pidana korupsi, wajib membuktikan sebaliknya
terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal
dari tindak pidana korupsi.
g.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta
benda tersebut, diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda
tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
h.
Tuntutan perampasan harta benda, diajukan oleh penuntut
umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
i.
Pembuktian bahwa harta benda bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam
perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
j.
Hakim wajib membuka persidangan yang khusus memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa.
k.
Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan
perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim.
l.
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta milik terpidana yang
diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara, maka negara dapat melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana dan atau warisnya.
IV.
PERAN SERTA MASYARAKAT
Masyarakat secara luas
digalang untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi dengan pengaturannya dalam Pasal 41 UU No . 31 Tahun
1999, diwujudkan dalam bentuk :
a.
Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dengan telah terjadi tindak piadana kotupsi ;
b.
Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh,
dan memberikan informasi adanaya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak piadana korupsi kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
c.
Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak piadan korupsi.
d.
Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
e.
Hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
V.
SANKSI PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam UU No 31 tahun 1999 sebagai mana diubah dan ditambah dengan UU No.
20 tahun 2001 ditentukan ancaman pidana penjara minimun atau paling singkat
sampai denda maksimum atau paling banyak, pidana denda minimum atau paling
sedikit dan sampai pada ancaman pidana mati, ditambah dengan pidana tambahan
dan uang pengganti.
Sanksi pidana yang diatur sebagai berikut :
1. Pidana
Mati : Psl 2 ayat (2)
Pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana, pelaksanaanya
dihadiri jaksa sebagai eksekutor dan secara teknis dilaksanakan oleh Polisi.
2. Pidana
penjara adalah bentuk Pidana yg berupa kehilangan kemerdekaan atau perampasan
kemerdekaan seseorang melalui putusan pengadilan. Dalam UU pemberantasan tindak
pidana korupsi sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.
3. Membayar
uang pengganti, sebagaiman diatur dalam Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999.
4. Pidana
Denda
Pembayaran pidana denda ini dapat diganti dengan pidana kurungan, hal ini
merupakan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana.
Hasil penagihan denda diperuntukan bagi kas negara.
Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang
lain, selain terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi
tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atas
nama terpidana.
5. Pidana
Tambahan.
Pidana tambahan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau utama :
-
Perampasan barang bergerak yang berujud atau tidak berujud atau barang
tidak bergerak.
-
Penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan paling lama 1 tahun.
-
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu.
VI.PENUTUP
1.
Korupsi adalah
perbuatan curang-busuk yang merugikan rakyat dan negara, maka harus dilawan
oleh seluruh komponen bangsa.
2.
Perkara korupsi
bukan perkara yg mudah untuk diungkap.
3.
Keberanian
masyarakat untuk melaporkan terjadinya korupsi dan bersedia menjadi saksi dalam
perkara korupsi merupakan wujud nyata peran serta masyarakat dalam
pemberantasan korupsi.
4.
Kejujuran dalam
pengelolaan keuangan negara / daerah akan membuahkan kemakmuran seluruh rakyat.
====sekian
wassalamualikum warahmatullohi wabarakatuh====
[1]
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Edisi Ringkas), Transparency
International Indonesia ,
Jakarta 2003, hlm.2.
[2]
Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and
The Global Economy, terjemahan Yayasan Obor Indonesia ,
Jakarta , Edisi
Pertama, 1999, hlm. 11.
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung , 2006, hal. 3.
[4] Larewnce M. Friedman, Legal System, New York
: Russel Sage Foundation, 1975.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar