Jumat, 13 Mei 2016

Materi 1 Pembinaan Hukum bagi ASN Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat



PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: MARLINOF, SH., MH
JAKSA pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat
 



I.            PENDAHULUAN
Perbuatan Tindak Pidana Korupsi merupakan  salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih (White Colour Crime) yang termasuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga upaya penanggulangannya harus  dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary counter measure).
Saat ini korupsi di Indonesia tercinta ini tidak pernah surut, dan ada kekhawatiran semakin luas. Korupsi seperti sudah menjadi ”budaya” di Indonesia dari sejak zaman kerajaan, penjajahan, zaman kemerdekaan mulai orde lama, orde baru dan orde reformasi. Upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak boleh lemah. Sinergitas antar instansi penegak hukum dengan instansi pengawasan eksternal dan internal serta masyarakat sangat diperlukan. Pengaduan masyarakat dan pengaduan internal instansi/BUMN/BUMD (Wishel Blowers) harus kita hargai dan kembangkan sebaik-baiknya. Kita semua mengetahui kalau ada asap pasti ada apinya. Alat bukti dibuat semakin luas dari alat bukti surat, keterangan saksi, keterangan ahli termasuk bukti yang bersifat elektronik harus semakin kita peroleh dan gunakan sebaik-baiknya.
Jeremy Pope mensinyalir korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan.
Pertama, karena :
-      melemahnya nilai-nilai sosial,
-      kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum,
-      serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang.

Kedua, karena :
-      tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas publik.[1] Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh lini kehidupan/dan sepertinya telah menyatu dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Meningkatnya aktivitas korupsi, menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum.[2] 
Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, kebutuhan terhadap ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Manusia tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa atau di luar masyarakat, maka manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan (ubi societas ibi ius).[3] Norma hukum menjadi simbol utama dalam kehidupan bermasyarakat, karena norma hukum merupakan rangkuman dari norma-norma dan kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh masyarakat yang pembentukannya diwakilkan oleh para wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif. Upaya pemberantasan korupsi dengan norma hukum, harus terus berjalan tanpa pandang bulu.
Dalam menegakkan supremasi hukum harus disertai dengan pemahaman bahwa manusia merupakan insan pokok (pelaku utama) dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan, seperti yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman : “the legal system is not a machine, it is run by human beings,”[4] maka untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang sebenar-benarnya, maka tidak hanya sistem peraturan perundang-undangan saja yang baik dan memadai, tetapi juga manusia -dengan perilakunya- juga harus memiliki kepribadian yang baik, memiliki kemampuan dan integritas yang layak dan tinggi serta memiliki kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku, baik itu oleh aparatur penegak hukum maupun oleh seluruh anggota masyarakat.

  1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KORUPSI.
Pembentukan hukum positif guna menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan pada tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Pengusaha Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1.   Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri atas :
a.    Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Pengusaha Militer Angkatan Darat berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.
b.    Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya) lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c.    Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyiataan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu keputusan dari Pengadilan Tinggi.
d.   Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/0313/1958 serta peraturan pelaksanaannya.
e.    Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf  Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958.
2.   Masa undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun./ 1960 tentang Pengusutun, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3.   Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TNLRI 2958)  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut.
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan memperkaya didi sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangagan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c  Barang siapa melakuakan kejahatan tercantum dalam Pasal 387, 388,415,416, 417, 418, 419, 420, 423, 425,  dan 435 KHUP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pengawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengigat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau olehsipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singakatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang terdapat dalam pasal 418, 419, dan 420 KHUP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f.   Barang siapa melakukan percoabaan atau permufakatan untuk melakukan        tindakan pidana korupsi.
Kemajuan antara perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 dengan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat diakatan ada beberapa kemajuan. Kemajuan tersebut meliputi :
a.    Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur “melawan hukum”, sedangkan peraturan terdahulu dirumuskan dengan unsur “dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”.
b.    Bentuk delik korupsi merupakan “delik formil”, berarti bahwa delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merumuskan dalam unsur-unsurnya serta bentuknya, akibat nyata dari perbuatan dari tindak disyaratkan untuk selesainya delik, sedangkan peraturan sebelumnya merumuskan korupsi sebagai delik materiil.
c.    Apabila dalam peraturan terdahulu perumusan terbagi dalam tiga bagian tindak pidana korupsi yang hanya bersifat luas dan umum, tindak pidana korupsi yang berupa peyalahguanaan kewenangan atau jabatan serta beberapa pasal delik jabatan dalam KHUP, maka dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 di samping hal itu masih dirumuskan pula tindak pidana suap aktif dan suap pasif yang tidak dilaporkan dalam waktu sesingkat-singkatnya oleh penerima hadiah atas pemberian tersebut.
Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa :percobaan dan permufakatan” melakukan tindak pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (delik selesai).
4.   Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TNLRI 4150) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134; TNLRI 4150) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137; TNLRI 4250)Tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  1. PENGERTIAN KORUPSI.
1.   Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta di dalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan (Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996,  hal 115).
2.   Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Dalam UU pemberantasan T.P Korupsi dpt dikelompokan menjadi 7 kelompok mengenai bentuk Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
a.    Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, sebagaimana yg diatur dalam Psl 2 dan Psl 3.
b.    Kelompok tindak pidana penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) (Psl 5, Psl 6, Psl 11, Psl 12 a, b, c, d, Psl 13)
c.    Kelompok tindak pidana perbuatan curang (Psl 7, Psl 12 Huruf h & i)
d.   Kelompok tindak pidana penggelapan dalam dalam jabatan (Psl 8 & Psl 10)
e.    Kelompok tindak pidana pemalsuan (Psl 9)
f.     Kelompok tindak pidana pemerasan (Psl 12 huruf e, f, & g)
g.   Kelompok tindak pidana gratifikasi (Psl 12, Psl 13)

II.         RUMUSAN, KLASIFIKASI DAN TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A.   PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Jika diperhatikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat   dari 2 (dua) segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.
Yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :
a.    Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 Undang-Undang Nommor 31 Tahun 1999)
b.    Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenanggan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatanya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
c.    Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999).
d.   Percobaan pembuatan atau pemufakatan jahat atau malakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
e.    Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau menyelenggarakan negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
f.     Memberi sesuatu kepada pengawai negeri atau penyelenggaran negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentanggan dengan kewajibanya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 Ayat (1) huruf  b Undang-Undang No 20 Tahun 2001).
g.   Memberikan atau menjajikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi  putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk di adili (Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
h.   Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan orang atau barang, keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
i.     Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, segaja membiarkan perbuatan curang sebangai mana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
j.     Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
k.    Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan segaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
l.     Pengawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan siatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, degan segaja mengelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berhatga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
m.  Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberikan tugas menjalankan sesuatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan segaja memalsukan buku-buku terus-menerus atau daftar-daftar yang khusus untuk memeriksa administrasi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
n.   Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, manghancurkan, merusakan, atau membuat tidak pakai barang, akta, surat, atau daftar yang di gunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabatyang berwenang, yang di kuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, manghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat di pakai barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
o.    Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang:
Ø  Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima bayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri ( Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
Ø  Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ( huruf f ).
Ø  Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang pada ( huruf g )   
Ø  Pada waktu menjalankan tugas tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan  peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ø  Baik lansung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atu persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
p.    Memberi hadiah kepada pengawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh memberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Yang dimaksud korupsi pasif adalah sebagai berikut :
a.    Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanya yang bertentangan dengan kewajiabanya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
b.    Hakim negeri atau advokat menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat        atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
c.    Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima  penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagai mana yang dimaksut dalam ayat (1) huruf a dan huruf c dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksut dalam ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ( Pasal 7 ayat (2)Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
d.   Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal di ketahui atau patut diketahui atau patut di duga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada berhubungan dengan jabatan nya (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
e.    Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janjipadahal diketahui atau patut di duga, bahwa hadiah atau janji tersebut di berikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
f.     Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal di ketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
g.   Advokat yang menerima hadiah atau janji itu di berikan untuk mempengaruhi nasehat atau pedapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001).
h.   Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).


B.   KLASIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
a.   Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, sebagaimana yg diatur dalam Psl 2 dan Psl 3.
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 2 ayat (1) ini memiliki unsur delik :
1.   Melawan hukum
2.   Memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
3.   Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur melawan hukum.
Pengertian unsur melawan Hukum secara resmi dimuat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.
Yang dimaksud dengan “ Secara melawan Hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,  yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”  menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Perbuatan melawan hukum secara formil adalah semua perbuatan yang sesuai dan cocok dengan perumusan undang-undang, apabila undang-undang telah melarangnya dan ada suatu perbuatan yang sesuai dengan perumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum secara formil. Sedangkan perbuatan hukum dalam arti materil ialah perbuatan yang selain dari perbuatan tersebut dilarang dan diancam oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak patut dan sangat tercela, perbuatan tersebut harus bersifat bertentangan baik dengan hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan :
1.   Yang bertentangan dengan hukum yang objektif.
2.   Bertentangan dengan hak subjektif dan orang lain.
3.   Perbuatan itu tanpa hak.
4.   Perbuatan itu tidak patut dan tercela.
Menurut Indriyanto Seno Adji dalam bukunya Korupsi dan Hukum Pidana tahun 2001 menyatakan Pengertian Melawan Hukum  dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan  tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, dengan maksud secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan dapat dipidana.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, SH, Pemberantasan Korupsi Suatu Komentar, Pradja Paramita, Jakarta, 1983, halaman 8, “Istilah Melawan Hukum merupakan terjemahan dari wederrechtelijk. Dalam Doktrin mengenai wederrechtelijk ini terdapat dua aliran besar  yakni :
a.    Wederrechtelijk Formal ;
b.    Wederrechtelijk Materieel.
Aliran formal mengajarkan  suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Aliran ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tertulis.
Aliran Materieel mengajarkan suatu perbuatan mungkin melawan hukum meskipun tidak secara tegas dilarang dan diancam dengan undang-undang. Aliran ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan tidak tertulis yang hidup di masyarakat seperti asas-asas umum yang berlaku “
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup Perbuatan Melawan Hukum dalam arti Formil maupun Materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela dan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”  
Dengan keluarnya putusan mahkamah konstirusi yang membatalkan perbuatan melawan hukum materil maka perbuatan melawan hukum yang diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi hanya perbuatan melawan hukum formil, yaitu bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.

Unsur memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Istilah memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel) merupakan istilah baru dalam hukum pidana Indonesia karena dalam KUHP tidak dikenal istilah itu. Secara harfiah, “memperkaya diri” artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta, “kaya” artinya mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya). Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, SH, MM, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, CV. Mandar Maju 2001, Hal 65, yang dimaksud dengan mamperakaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi menurut ketentuan ini ialah selalu dengan terus menerus tanpa berhenti menambah harta dan kekayaan dengan jalan melawan hukum. Hingga kekayaan yang diperolah sebagai tambahan itu tidak seimbang dengan penghasilan atau  sumber kekayaan yang dia miliki.
Sedangkan menurut pertimbangan Pengadilan Negeri Medan tanggal 13 Oktober 1981 Nomor : 219/KTS/1981 PN Medan dan tanggal 1 Oktober 1981 “….. pengertian memperkaya diri sendiri itu berarti relatif, artinya suatu perbuatan / kegiatan yang menjadikan suatu kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu dijadikan lebih meningkat lagi dalam pengertian yang tetap relatif, walaupun secara subjektif orang yang bersangkutan mungkin merasa belum kaya...” dan menurut pengadilan Negeri Purwokarta melalui putusannya tanggal 16 September 1981 Nomor  perkara J.214/ 1981 “ memperkaya diri sendiri harus ditafsirkan membuat kaya orang lain tanpa melihat sudah kaya, tidak / belum kaya dengan jalan melawan hukum “ , Vide Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Gramedia 1984, hal,100.
Unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara
§  Sebelum keluar Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, secara administratif pengelolaan keuangan negara mengacu kepada Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448. pengertian keuangan negara dari sudut pandang administratif keuangan baru diatur secara yuridis setelah keluarnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
§  Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, dan dalam Pasal 2 disebutkan bentuk-bentuk Keuangan Negara seperti yang dimaksud Pasal 1 Angka 1 tersebut, antara lain : Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga; Penerimaan Negara; Pengeluaran Negara; Penerimaan Daerah; Pengeluaran Daerah; Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; Kekayaan pihak lain  yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
§  Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”.
Pengertian dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah kerugian negara tidak harus telah terjadi tetapi cukup apabila perbuatan terdakwa berpeluang memungkinkan timbulnya kerugian negara atau perekonomian negara, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian negara, karena adanya kata “dapat” . Selanjutnya  yang dimaksud dengan “Keuangan  Negara”  adalah meliputi juga keuangan  daerah atau suatu badan/badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Pengertian “Keuangan negara atau perekonomian negara”  dijelaskan pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut:
Keuangan negara dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau pun tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian  kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :
1.   Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat maupun daerah.
2.   Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,Yayasan,Badan Hukum dan Perusahaan yang penyertaan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan  yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara”  adalah kehidupan perekonomian yang disusun dalam usaha bersama berdasarkan asas kekeluarggan ataupun usaha masyarakat secara sendiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
PASAL 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3 ini memiliki unsur delik :
1.   Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
2.   Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
3.   Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Penjelasan unsur ini relatif sama dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, karenanya tidak perlu diuraikan lagi.
Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ditujukan kepada TUPOKSI yang digunakan untuk tujuan lain selain yang dimaksud oleh tugas itu sendiri.

Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan unsur ini relatif sama dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, karenanya tidak perlu diuraikan lagi.
b.   Kelompok tindak pidana penyuapan (Psl 5, Psl 6, Psl 11, Psl 12 a, b, c, d, Psl 13)
Pasal 5
(1)          Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2)          Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2)          Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

c.    Kelompok tindak pidana perbuatan curang (Psl 7, Psl 12 Huruf h & i)
Pasal 7
(1)  Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a.  pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b.  setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
(2)      Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Psl 12 Huruf h & i
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
h.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.     pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

d.   Kelompok tindak pidana penggelapan dalam jabatan (Psl 8 & Psl 10)
Pasal 8 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 10 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

e.   Kelompok tindak pidana pemalsuan (Psl 9)
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

f.     Kelompok tindak pidana pemerasan (Psl 12 huruf e, f, & g)
Psl 12 huruf e
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Psl 12 huruf f
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
Psl 12 huruf g
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g.   Kelompok tindak pidana gratisfikasi (Psl 12 A , B)
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

C.   TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
a.   Melakukan percobaan, perbantuan/permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Korupsi (Psl 15).
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
b.   Memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana Korupsi diluar wilayah negara R.I  (Psl 16)
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
c.    Menghalangi pemeriksaan perkara korupsi (Psl 21)
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau  denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
d.   Memberikan keterangan yang tidak benar (Psl 22, Psl 28, Psl 29, Psl 35 & Psl 36)
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda *9818 istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)  Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 35
(1)  Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2)  Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
e.   Saksi yang membuka identitas pelapor (Psl 24 jo Psal 31)
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 31
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.


III.       PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Mengungkap perkara korupsi tidak semudah yang dibayangkan karena korupsi hanya dapat dilakukan oleh orang cerdas yang punya kekuasaan dan jabatan serta melibatkan sekelompok orang.
Penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan dengan memperhatikan :
1.   Pasal 26 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bukti elektronik).
2.   KUHAP sebagai ketentuan umum yang mengatur hukum acara pidana.
3.   Perkara korupsi harus didahulukan dari perkara yang lain guna penyelesaian secepatnya (pasal 25)
4.   Peraturan perundangan lain yang terkait dengan perkara tersebut.

A.   PENYELIDIKAN
Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yg berdiri sendiri, terpisah dr fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan. Latar belakang, motivasi & urgensi fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan & jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan & pembatasan yg  ketat dlm penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan & adanya lembaga ganti kerugian & rehabilitasi dikaitkan bahwa tdk setiap peristiwa pidana yg terjadi & diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana
Pada tahap penyelidikan, seorang saksi yg diminta untuk hadir memberikan keterangan dapat saja tdk memenuhi panggilan tersebut karena memang pada tahap penyelidikan tidak ada upaya paksa untuk itu, sifatnya hanya pengumpulan bahan keterangan, dan pada tahap ini belum dapat ditentukan siapa yang menjadi tersangka.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

B.   PENYIDIKAN
Pasal 1 butir 2 KUHAP menentukan bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal & menurut cara yg diatur dlm undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yg dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yg terjadi & guna menemukan tersangkanya.
Pada tahap penyidikan, seorang saksi yg dipanggil untuk memberikan keterangan harus memenuhi panggilan tersebut karena pada tahap penyidikan telah terdapat upaya paksa, bilamana seorang saksi tidak bersedia datang setelah dipanggil secara sah & tidak terdapat alasan yg dapat dibenarkan maka saksi tersebut dapat dijemput secara paksa oleh pihak penyidik.
Yang penting diketahui adalah bahwa saksi adalah orang yg dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan & peradilan tentang suatu perkara pidana yg ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).
Kesaksian yang dia dengar dari orang lain tidak mempunyai nilai sebagai keterangan saksi yang biasa disebut dengan saksi de auditu (saksi yang mendengar dari orang lain)
Seseorang yg diperiksa dlm kapasitas sebagai saksi setelah dilakukan pemeriksaan oleh Tim Penyidik apabila didapat bukti kuat keterlibatan saksi tersebut maka statusnya dapat ditingkatkan menjadi tersangka, pada status ini ia berhak didampingi oleh Penasehat Hukum.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 KUHAP kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik:
a.    menerima laporan atau pengaduan dr seseorang ttg adanya tindak pidana;
b.    melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.    menyuruh berhenti seorang tersangka & memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.   melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan & penyitaan;
e.    melakukan pemeriksaan & penyitaan surat;
f.     mengambil sidik jari & memotret seorang;
g.   memanggil orang untuk didengar keterangan sebagai tersangka atau saksi;
h.   mendatangkan seorang ahli  yg diperlukan dlm hubungannya dgn pemeriksaan perkara;
i.     mengadakan penghentian penyidikan;
j.     mengadakan tindakan lain menurut hukum yg bertanggungjawab.
Penggunaan upaya paksa pada tahap penyidikan ini dilakukan dalam keadaan yang sangat terpaksa serta harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan jangka waktunya terbatas
Pasal 116 – 119 KUHAP mengatur mengenai tata cara pemeriksaan saksi oleh Penyidik yakni :
a.    Saksi tidak disumpah, kecuali terdapat alasan yg cukup bahwa saksi tidak dapat hadir di persidangan;
b.    Saksi diperiksa secara tersendiri & dapat dipertemukan dengan saksi lainnya;
c.    Pemeriksaan tanpa tekanan dari siapa pun & atau dalam bentuk apa pun, akan tetapi saksi wajib memberikan keterangan yg sebenarnya;
d.   Keterangan dicatat dalam B.A.P. yg ditandatangani oleh penyidik & saksi; apabila saksi tdk mau menandatanganinya maka penyidik mencatatnya dalam berita acara dengan menyebutkan alasan yg kuat
e.    Saksi yang berada di luar daerah hukum penyidik, pemeriksaannya dibebankan kepada penyidik di tempat saksi berada.
Hasil penyidikan yg dilakukan oleh Penyidik selanjutnya diserahkan ke penuntut umum dalam suatu berkas perkara, & apabila penuntut umum kemudian berpendapat bahwa berkas perkara telah sempurna & lengkap maka penyidik menyerahkan tersangka berikut barang bukti kepada JPU untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan.

C.   PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN.
Untuk dapat menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, berhubungan dengan asas legalitas (priciple of legality) yakni memenuhi rumusan undang-undang, sedangkan untuk menentukan pertanggungjawaban berhubungan dgn asas kesalahan (culpabilitas). Berdasarkan kedua asas ini seseorang baru dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.
Untuk membuktikan seseorang dapat dipersalahkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi, di dlm proses peradilan pidana dipergunakan berbagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan alat bukti itu hakim akan memperoleh keyakinan bahwa seseorang yg didakwa terbukti bersalah.



D.   PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI DALAM PERKARA KORUPSI
Definisi saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan & peradilan tentang suatu perkara pidana yg ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,  & ia alami sendiri.
Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ada satu pasal yang bisa dikategorikan memberikan kontribusi dalam perlindungan saksi, yaitu dalam pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 166 KUHAP mengatur bahwa kepada saksi/tersangka/terdakwa tidak boleh diberikan pertanyaan yg bersifat menjerat, semua keterangan harus diberikan dalam keadaan bebas tanpa tekanan, serta pasal 229 KUHAP mengatur mengenai penggantian biaya terhadap saksi yang telah hadir memberikan keterangan di persidangan.
Di akhir tahun. 2005 terdapat perkembangan yang cukup menggembirakan menyangkut perlindungan saksi dengan disusunnya RUU Perlindungan Saksi & Korban dan saat ini sudah ditetapkan menjadi UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam psl 5 (1)  dirumuskan bahwa seorang saksi dan korban berhak :
a.    Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yg berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana;
b.    Ikut serta dalam proses memilih & menentukan perlindungan & dukungan keamanan;
c.    Memberikan keterangan  tanpa tekanan;
d.   Mendapat penerjemah;
e.    Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.     Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.   Mendapatkan informasi mengenai putusan Pengadilan;
h.   Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.     Mendapat identitas baru;
j.     Mendapat tempat kediaman baru;
k.    Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l.     Mendapat nasehat hukum ; dan / atau
m.  Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Hak tersebut diberikan kepada saksi / korban tindak pidana tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
Pasal 31 ayat (1) : Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak piadana korupsi.

E.   PUTUSAN TANPA KEHADIRAN TERDAKWA (Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999)
1.   Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2.   Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya di anggap sebagai diucapkan dalam sidang sekarang.
3.   Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
4.   Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan dimaksud. Panggilan yang sah ialah penyampaian undangan yang dilakukan oleh jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa agar terdakwa dihadapkan pada sidang pengadilan yang telah ditentukan oleh Hakim. Panggilan harus disampaikan kepada terdakwa, yaitu 3 (tiga) hari kerja sebelum persidangan dimulai.

F.   REHABILITAS DAN KOMPENSASI.
1.   Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi secara bertentangan dangan undang-undang atua dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan\atau kopensasi.
2.   Gugatan tidak mengurangi hak orang lain yang dirugikan untuk mengjukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan pengajuan pra peradilan .
3.   gugatan diajukan pengadilan negeri yang berwenang mengadiliperkara tindak pidana korupsi.
4.   Dalam putusan pengadilan negeri dimaksut, ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan\atau kopensasi yang harus dipenuhi.

G.   ALAT BUKTI (Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001)    
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, kusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari: 
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang di ucapkan, dikirimkan, di terima,          atau di simpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat di lihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara,gambar, peta rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki angka.
c.  Pasal 188 (2) KUHAP: petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi surat, dan keterangan terdakwa.

H.  ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK (Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B, serta Pasal 38C  UU No. 31 tahun 1999)
a.    Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan Tindak pidana korupsi.
b.    Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindak Pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan Sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
c.    Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan Harta benda istri atau suami, anak,dan harta benda seseorang atau Koporasinya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang di Dakwakan.
e.    Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak Seimbang sengan penghasilanya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang Sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupi.
f.     Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
g.   Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut, diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
h.   Tuntutan perampasan harta benda, diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
i.     Pembuktian bahwa harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
j.     Hakim wajib membuka persidangan yang khusus memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa.
k.    Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim.
l.     Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau warisnya.

IV.        PERAN SERTA MASYARAKAT
Masyarakat secara luas digalang untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pengaturannya dalam Pasal 41 UU No . 31 Tahun 1999, diwujudkan dalam bentuk :
a.    Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dengan telah terjadi tindak piadana kotupsi ;
b.    Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanaya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak piadana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
c.    Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak piadan korupsi.
d.   Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e.    Hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

V.           SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK  PIDANA KORUPSI
Dalam UU No 31 tahun 1999 sebagai mana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 ditentukan ancaman pidana penjara minimun atau paling singkat sampai denda maksimum atau paling banyak, pidana denda minimum atau paling sedikit dan sampai pada ancaman pidana mati, ditambah dengan pidana tambahan dan uang pengganti.



Sanksi pidana yang diatur sebagai berikut :
1. Pidana Mati  : Psl 2 ayat (2)
Pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana, pelaksanaanya dihadiri jaksa sebagai eksekutor dan secara teknis dilaksanakan oleh Polisi.
2. Pidana penjara adalah bentuk Pidana yg berupa kehilangan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan seseorang melalui putusan pengadilan. Dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
3. Membayar uang pengganti, sebagaiman diatur dalam Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999.
4. Pidana Denda
Pembayaran pidana denda ini dapat diganti dengan pidana kurungan, hal ini merupakan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana.
Hasil penagihan denda diperuntukan bagi kas negara.
Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain, selain terpidana, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana.
5. Pidana Tambahan.
Pidana tambahan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau utama :
-      Perampasan barang bergerak yang berujud atau tidak berujud atau barang tidak bergerak.
-      Penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan paling lama 1 tahun.
-      Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu.

VI.PENUTUP
1.   Korupsi adalah perbuatan curang-busuk yang merugikan rakyat dan negara, maka harus dilawan oleh seluruh komponen bangsa.
2.   Perkara korupsi bukan perkara yg mudah untuk diungkap.
3.   Keberanian masyarakat untuk melaporkan terjadinya korupsi dan bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi merupakan wujud nyata peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
4.   Kejujuran dalam pengelolaan keuangan negara / daerah akan membuahkan kemakmuran seluruh rakyat.

====sekian wassalamualikum warahmatullohi wabarakatuh====



[1] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Edisi Ringkas), Transparency International Indonesia, Jakarta 2003, hlm.2.
[2] Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, 1999, hlm. 11.
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006, hal. 3.
[4] Larewnce M. Friedman, Legal System, New York : Russel Sage Foundation, 1975.

Tidak ada komentar: