Minggu, 17 November 2024

Opini: Mampukah Menteri Agama “Bersih-Bersih” Saat Budaya KKN & Primordialisme Menjangkiti ASN Kementerian Agama?

Menteri Agama RI
Prof. Dr. KH. Nasharuddin Umar, MA

Padang Panjang, Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta primordialisme yang menjangkiti birokrasi, termasuk di Kementerian Agama, adalah masalah akut yang mengakar dalam tata kelola pemerintahan Indonesia. Jika Menteri Agama ingin “bersih-bersih,” sebagaimana pidato iftitah beliau memulai tugas, maka hal ini memerlukan langkah-langkah yang lebih dari sekadar retorika atau kebijakan parsial; ia harus menjadi agen perubahan yang berani dan strategis.  

1. Pemahaman Masalah yang Kompleks 

KKN sering kali disebabkan oleh sistem yang lemah, di mana transparansi minim, pengawasan internal lemah, dan hukuman terhadap pelaku tidak menimbulkan efek jera. Di sisi lain, primordialisme, seperti kecenderungan mengutamakan kelompok etnis, agama, atau daerah tertentu dalam rekrutmen dan promosi jabatan, memperdalam perpecahan dan ketidakadilan. Kombinasi keduanya melahirkan birokrasi yang tidak profesional, korup, dan kehilangan kepercayaan publik. 

Pemahaman komprehensif tentang kondisi lapangan tidak akan sulit bagi Pak Menteri karena beliau adalah pejabat karir yang lahir dari rahim suci kementerian agama yang sudah punya banyak pengalaman dari dosen, dirjen, wakil menteri dll dsb. Akan sangat berbeda bilamana menteri agama berasal dari luar, seperti dari partai politik atau berafiliasi dengan partai politik tertentu dimana beberapa kurun waktu  cenderung "meracoki" kementerian agama dengan virus dan berakhir dengan persoalan hukum.

2. Reformasi Sistemik dan Bukan Simbolis

Untuk membasmi budaya ini, Menteri Agama harus fokus pada reformasi sistemik, termasuk:  

- Digitalisasi birokrasi: Mengurangi kontak langsung dalam pelayanan publik untuk meminimalkan peluang KKN, terutama dalam pengadaan barang jasa dan promosi jabatan.

- Audit independen berkala: Melibatkan lembaga eksternal untuk memantau kinerja, integritas, dan anggaran. Di samping memperkuat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). 

- Transparansi publik: Menyediakan akses data ke masyarakat agar setiap kebijakan dan anggaran dapat diawasi.  Memajang poster anggaran dan memperkuat Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Publik.

3. Penegakan Hukum yang Tegas  

Tidak ada reformasi yang berhasil tanpa penegakan hukum yang tegas. Menteri Agama harus berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum seperti KPK untuk menindak ASN yang terbukti melakukan pelanggaran. Langkah ini harus konsisten tanpa pandang bulu, bahkan jika melibatkan pejabat tinggi di kementeriannya sendiri. Begitu juga dengan Irjen jangan lagi menjadi lembaga tumpul yang sering bagi-bagi "maaf" dengan hanya menggeser pejabat bermasalah ke jabatan setingkat seperti eselon II Kakanwil digeser ke Eselon II Kabiro UIN dsb.

4. Kepemimpinan Berintegritas 

Kepemimpinan Menteri Agama menjadi kunci. Ia harus menjadi teladan yang bebas dari konflik kepentingan dan mampu menumbuhkan budaya kerja yang berbasis meritokrasi (sistem politik yang memberi kesempatan kepada seseorang untuk memimpin atau menempati posisi berdasarkan prestasi dan kemampuan). Upaya “bersih-bersih” akan gagal jika pemimpin justru terjebak dalam permainan politik atau memiliki agenda tersembunyi. Integritas  Pak Menteri mungkin tidak diragukan lagi tapi bagaimana pejabat di bawahnya dari pusat sampai ke daerah termasuk tim khusus bentukan Pak Menteri, akan adakah "pihak lain" yang bermain?

5. Pendekatan Humanis untuk Mengatasi Primordialisme

Selain mengatasi KKN, Menteri Agama juga perlu mengedepankan pendekatan humanis dalam mengikis primordialisme. Ini bisa dilakukan dengan:  

- Pelatihan multikultural: Memupuk pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman.  

- Promosi berdasarkan kompetensi: Memastikan ASN yang menduduki jabatan memiliki kualifikasi terbaik, bukan sekadar berasal dari kelompok tertentu. Berlakukan kembali sistem Daftar Urut Kepangkatan (DUK), Syarat Lulus Pendidikan Pelatihan Kepemimpinan untuk menduduki suatu jabatan, selanjutnya  mereka diberi kesempatan mengikuti asesmen jabatan, bukan lagi melalui pertimbangan jauh dekat (perjakat).

Penutup 

Mampukah Menteri Agama melakukan “bersih-bersih”? Insya Allah mampu, tentu jawabannya terletak pada kemampuan beliau menciptakan reformasi sistemik yang berkelanjutan, keberanian menindak pelaku tanpa pandang bulu, serta komitmen membangun budaya kerja yang transparan dan profesional. Selanjutnya menularkan semangat dan komitmen yang sama kepada jajaran di bawahnya. Tantangan ini memang berat, tetapi jika pendekatan yang digunakan tepat, hasilnya akan membawa perubahan positif bagi kementerian dan masyarakat luas.  Setiap shaf barisan ASN Kementerian Agama sudah sepantasnya mendukung Pak Menteri sehingga marwah kementerian agama dapat terhormat & terpelihara sepanjang masa.


Wahyu Salim

Sang Pecinta Kementerian Agama

Tidak ada komentar: