Senin, 07 Maret 2016

Shalat Gerhana Matahari

KUSUF & KHUSUF
(Kajian Fiqh di Masjid Baitul Jalal B. Tinggi, Jumat tgl 4 Maret 2016)
Kusuf (الكسوف) menurut bahasa berarti “berubah menjadi hitam. Sedangkan khusuf (الخسوف) berarti “kekurangan”. Jadi kata Kusuf dan Khusuf bagi matahari dan bulan bermakna perubahan dan berkurangnya sinar keduanya. Kedua kata ini memiliki arti yang sama dan keduanya digunakan pada hadits-hadits shahih, sedangkan al-Qur’an menggunakan kata Khusuf untuk bulan.
Kusuf adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas diantara bumi dan matahari.
Khusuf adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.
SHALAT KUSUF ATAU KHUSUF
Ketika terjadi gerhana maka disunnahkan untuk melaksanakan shalat kusuf atau shalat khusuf. Berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat [41} : 37)
Maksud dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.
Dari Al Mughirah bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat.
Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.
BEBERAPA KETENTUAN DALAM SHALAT GERHANA
1. Waktu pelaksanaan. shalat gerhana dilaksanakan mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughirah bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047).
Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
2. Tempat pelaksanaan. Disunnahkan Shalat gerhana dilakukan di Masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di Masjid. Tetapi sebagian ulama ada yang membolehkan shalat gerha na ini dilaksanakan di rumah secara munfarid (sendiri).
Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata;
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
“Matahari mengalami gerhana pada masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau keluar menuju masjid lalu membariskan orang-orang di belakang beliau “ (HR. Bukhari)
3. Berjamaah. Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya dengan berjamaah di masjid.
4. Tanpa Adzan dan Iqamat. Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka diserukan: “Ashshalaatul jaami’ah (shalat secara berjamaah).” (HR. Al-Bukhari no. 1045)

5. Imam mengeraskan bacaan (jahr). Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara).
6. Khutbah. khutbah setelah shalat gerhana.
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’nya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau ruku’ dan memanjangkan lama ruku’nya, namun tidak selama rukuknya yang pertama. Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak terjadi gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya: “Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, tidak ada yang melebihi kecemburuan Allah kecuali saat Dia melihat hamba laki-laki atau hamba perempuan-Nya berzina. Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” (HR. Al-Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 1499)
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana.
Pertama, Disyariatkan Khutbah. Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat. Dalam khutbah ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).
Kedua, Tidak Disyariatkan Khutbah. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.
Pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan dan peringatan kepada para jamaah yang hadir. Demikian menurut pendapat Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
7. Memperbanyak Doa, Dzikir, Takbir dan Sedekah. Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir, sedekah, dan amal-amal kebajikan selain shalat gerhana itu sendiri.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْكَسَفَتْ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَا فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ
“Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu terjadi gerhana matahari. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berjalan cepat sambil menyeret selendangnya hingga masuk ke dalam masjid, maka kamipun ikut masuk ke dalam masjid. Beliau lalu mengimami kami shalat dua rakaat hingga matahari kembali nampak bersinar. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan berdoalah hingga selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1040)
TATACARA RINGKAS
Tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
1. Berniat di dalam hati.
2. Takbiratul ihram sebagaimana shalat biasa.
3. Membaca salah satu do’a istiftah.
4. Berta’awudz, yakni memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
5. Membaca surat Al Fatihah dan membaca satu surat yang panjang (seperti surat Al-Baqarah) dengan mengeraskan suara.
6. Ruku’ sambil bertakbir dengan ruku’ yang lama mengulang-ulang bacaan ruku’.
7. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan, Sami’allahu liman hamidah. Setelah berdiri tegak, membaca Rabbana wa lakal hamd.
8. Membaca al-Fatihah dan satu surat panjang namun lebih pendek daripada surat pertama (seperti surat Ali Imran).
9. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
10. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan, Sami’allahu liman hamidah. Setelah berdiri tegak, membaca Rabbana wa lakal hamd’.
11. Sujud sambil bertakbir yang lamanya seperti lamanya ruku’.
12. Mengangkat kepala dari sujud sambil bertakbir, lalu duduk di antara dua sujud.
13. Sujud kembali sambil bertakbir, namun tidak selama sujud yang pertama.
14. Bangkit menuju rakaat kedua dengan bertakbir. Kemudian shalat seperti pada rakaat pertama, yaitu dengan dua kali bacaan Al-Fatihah, dua kali bacaan surat (seperti surat An-nisa’ dan surat al-Maidah), dua ruku’, dan dua sujud. Hanya saja tiap-tiap bacaan al-Qur’an, ruku’, berdiri, dan sujud yang pertama lebih lama daripada yang dilakukan setelahnya.
15. Duduk Tasyahhud dan bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
16. Mengakhiri shalat dengan dua Salam.
17. Setelah itu imam menyampaikan khutbah atau nasehat dan peringatan kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak.

Tidak ada komentar: