Rabu, 25 September 2024

Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dari Berbagai Aspek


Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dari Berbagai Aspek

Oleh: Wahyu Salim (Penyuluh Agama/Ketua PCM X Koto)

Perkawinan anak merupakan isu global yang mengancam kesehatan, pendidikan, dan hak asasi anak. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, pemerintah dan organisasi non-pemerintah berupaya mengatasi masalah ini melalui kebijakan pencegahan yang komprehensif. Artikel ini akan membahas kebijakan pencegahan perkawinan anak dari berbagai aspek: hukum, pendidikan, sosial, dan ekonomi.

1. Aspek Hukum

Salah satu langkah penting dalam pencegahan perkawinan anak adalah penguatan regulasi hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia minimum untuk menikah, yaitu 19 tahun bagi pria dan wanita. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari tekanan sosial dan budaya yang mendorong perkawinan dini. Penegakan hukum yang ketat terhadap praktik perkawinan anak juga diperlukan, termasuk sanksi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut.

2. Aspek Pendidikan

Pendidikan memainkan peran kunci dalam mencegah perkawinan anak. Program pendidikan yang mengedukasi anak-anak tentang hak-hak mereka, kesehatan reproduksi, dan dampak negatif dari perkawinan dini sangat penting. Sekolah harus berfungsi sebagai tempat untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu ini. Selain itu, program beasiswa dan dukungan bagi anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan mereka dapat membantu mengurangi angka perkawinan anak. 

3. Aspek Sosial

Perubahan sosial juga menjadi aspek penting dalam kebijakan pencegahan. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami dampak jangka panjang dari perkawinan anak, baik bagi individu maupun komunitas. Kampanye sosial yang melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan media dapat membantu mengubah stigma dan norma yang mendukung perkawinan dini. Menikahkan anak yang terlanjur pergaulan bebas dan hamil di luar nikah tidak selamanya jadi solusi, bahkan menimbulkan masalah baru spt KDRT, perceraian & kemiskinan baru.  Partisipasi komunitas dalam merancang solusi lokal juga sangat penting agar pendekatan yang diambil relevan dengan konteks sosial setempat.

4. Aspek Ekonomi

Kondisi ekonomi sering kali menjadi faktor pendorong perkawinan anak. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan mungkin menganggap perkawinan anak sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang mendukung keluarga miskin, seperti program pemberian bantuan sosial, pelatihan keterampilan, dan akses ke pekerjaan, dapat berkontribusi dalam mengurangi praktik ini. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga dapat membantu mereka melihat pendidikan anak sebagai investasi jangka panjang.

Kesimpulan

Kebijakan pencegahan perkawinan anak harus bersifat holistik dan terintegrasi dari berbagai aspek. Melalui penguatan hukum, peningkatan pendidikan, perubahan sosial, dan dukungan ekonomi, diharapkan angka perkawinan anak dapat ditekan secara signifikan. Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung hak-hak anak dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Tidak ada komentar: