Rabu, 03 Desember 2025

Jeda yang Menguatkan: Memandang Musibah sebagai Pelukan Allah

 


“Jeda yang Menguatkan: Memandang Musibah sebagai Pelukan Allah”

Oleh: Wahyu Salim (Penyuluhan Agama Islam)

Dalam hidup, tidak ada seorang pun yang ingin diuji dengan bencana. Tidak ada yang berharap kehilangan rumah, harta, atau orang-orang tercinta. Namun ketika musibah datang, kita sering merasa seperti semua pintu tertutup dan seluruh harapan runtuh bersamaan dengan bangunan di sekitar kita.
Padahal, bagi seorang muslim, musibah bukanlah akhir cerita. Ia hanyalah jeda, sebuah momen di mana Allah mengizinkan kita berhenti sejenak untuk menata hati, memperbaiki arah, dan kembali menguatkan hubungan dengan-Nya.

1. Musibah Bukan Hukuman, Tapi Tanda Perhatian Allah

Sering kali kita bertanya, “Mengapa Allah mengizinkan ini terjadi?”
Jawabannya bukan karena Allah membenci hamba-Nya. Justru sebaliknya, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Allah menimpakan musibah kepadanya.”
(HR. Bukhari)

Musibah adalah bentuk perhatian Allah. Seperti seorang ibu yang menggendong anaknya ketika sedang demam, Allah pun sedang “memeluk” kita lewat ujian, agar dosa dibersihkan, derajat ditinggikan, dan jiwa dikuatkan.

2. Jeda dari Hiruk-Pikuk Dunia

Dalam kesibukan hidup, kita terkadang lupa bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan.
Bencana mengingatkan kita betapa mudah dunia ini berubah dalam hitungan detik.
Kita seperti dipaksa berhenti, diam, lalu merenung:

  • Siapa yang selama ini menjaga kita?

  • Siapa yang benar-benar kita butuhkan?

  • Apa yang selama ini terlalu kita banggakan?

Dalam jeda itu, Allah memberi ruang bagi hati kita untuk kembali bertawakkal sepenuhnya kepada-Nya.

3. Setelah Badai, Cahaya Itu Pasti Ada

Tidak ada badai yang abadi.
Tidak ada malam yang tidak digantikan pagi.
Setiap luka yang Allah izinkan, selalu disertai obatnya.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5–6)

Ayat ini bukan hanya janji, tapi jaminan.
Jika Allah mengambil, itu karena Dia ingin mengganti dengan yang lebih baik.
Jika Allah mengguncang hidup kita, itu karena Dia ingin membangunkan kita menuju kemuliaan yang lebih besar.

4. Terang Itu Dimulai dari Hati yang Tidak Menyerah

Cahaya setelah badai bukan hanya berbentuk rumah baru atau harta pengganti.
Sering kali cahaya itu dimulai dari:

  • hati yang lebih sabar,

  • iman yang lebih kokoh,

  • keluarga yang lebih dekat satu sama lain,

  • masyarakat yang lebih peduli dan saling menguatkan.

Kadang yang Allah perbaiki bukan keadaan luar, tetapi jiwa kita di dalam.

5. Bangkit Tidak Harus Cepat, Yang Penting Tetap Melangkah

Setelah musibah, setiap orang punya ritme masing-masing dalam bangkit.
Ada yang cepat kembali bekerja, ada yang perlu waktu.
Tidak apa-apa.
Yang penting, kita tidak berhenti berharap dan tidak berhenti berdoa.

Doa adalah cahaya yang menuntun kita melewati masa sulit.

“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”
(QS. Ath-Thalaq: 3)

Allah cukupkan, bukan hanya kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan hati: tenang, tabah, diterima, dan dikuatkan.

6. Dari Ujian Menuju Keindahan Baru

Setiap musibah selalu menyisakan dua pilihan: menjadi patah atau menjadi kuat.
Namun bagi seorang mukmin, pilihan itu menjadi lebih terang:
kita tidak dibiarkan patah.
Karena Allah sendiri yang memeluk hati kita dalam ujian.

Yakinlah…
Jika hari ini kita masih menangis karena kehilangan, insyaAllah suatu hari nanti kita akan tersenyum melihat bagaimana Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih indah.

Penutup: Cahaya Itu Pasti Datang

Musibah ini bukan akhir.
Ini hanya jeda—jeda yang mendekatkan kita kepada Allah.
Dan setelah jeda itu, cahaya pasti muncul, lebih terang dari sebelumnya.

Semoga Allah menenangkan setiap hati, menghapuskan setiap kesedihan, dan mengganti setiap kehilangan dengan kebaikan yang berlipat-lipat.

Tidak ada komentar: