Padang Panjang, Sejak kecil, Wahyu memiliki ketertarikan yang luar biasa pada dunia militer. Berita tentang tentara, tulisan mengenai strategi perang, atau kisah para pahlawan selalu menarik perhatiannya. Di usianya yang masih belia, ia sudah hafal pangkat-pangkat dalam militer, dari prajurit paling rendah hingga jenderal berbintang empat. Nama-nama seperti Try Sutrisno, Kasad, Pangkostrad, dan Kopassus menjadi tokoh idolanya yang sering ia lihat di televisi.
Masa SD: Awal Mimpi dan Semangat Militer
Di sekolah dasar, bakat Wahyu sebagai seorang pemimpin mulai terlihat. Ia sering ditunjuk sebagai komandan upacara, ajudan pembina, atau ketua pleton. Tidak hanya itu, ia juga aktif di Pramuka, mengikuti berbagai kegiatan seperti perkemahan, baris-berbaris, tali-temali, dan semapur. Saat upacara pengibaran bendera 17 Agustus dan Hari Ulang Tahun ABRI tak pernah ia lewati, setiap langkah, gerakan satu persatu ia pelototi sampai-sampai nama dan pangkat petugas upacarapun ia coba hafal satu persatu. Begitu juga saat pagelaran karnawal 17 Agustus, ia pernah mengikutinya menempuh perjalanan keliling kota.
Masa SLTP: Tekad yang Semakin Menguat
Saat duduk di bangku SLTP, kegemaran Wahyu pada dunia militer tidak surut. Bersama teman-teman dekatnya—Boy, Jutrik, Hendra, Nova, dan Panca—ia berangkat ke Jambore Nasional tahun 1991. Kegiatan itu semakin membakar semangatnya untuk mengejar cita-cita sebagai tentara. Ia semakin serius mempelajari berbagai keterampilan Pramuka seperti morse dan halang rintang. Setiap kali melihat berita tentang Panglima ABRI atau laporan aktivitas militer, ia merasa bersemangat. Bahkan gaya jalannya mulai menyerupai cara jalan seorang tentara. Ketika ada program Manunggal TNI di kampungnya di Lubuk Sikaping, Wahyu selalu hadir menyaksikan kegiatan para tentara. Seorang perwira yang melihat antusiasmenya pernah berkata, “Kau masuk saja SMA Taruna! Anak kecil ini ngevans sekali sama tentara, gerakan hormat dan tegak senjatapun saat berjalan ia tirukan”.
Namun, meski semangatnya begitu besar, tubuh Wahyu yang kecil menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-citanya.
Masa SLTA: Petualangan di MAN/MAPK Koto Baru
Saat SLTA, Wahyu melanjutkan pendidikan di MAPK Koto Baru dan tetap aktif di Pramuka hingga mencapai tingkatan Penegak Laksana. Ia terbiasa menjadi komandan upacara, mengikuti baris-berbaris, dan aktif dalam berbagai lomba seperti Hapram di Talawi, Sawahlunto. Wahyu juga menjadi penggerek bendera, ikut berkemah, serta mendaki Gunung Singgalang dan Marapi.
Suatu kali, Wahyu mengikuti ujian kenaikan tingkat ke Penegak Laksana. Masing-masing beranggotakan dua orang, Wahyu berteman dengan Fuad. Tantangannya adalah menyusuri rute dari Koto Baru, menuju Bukittinggi dan Baso, lalu kembali ke Koto Baru melalui rute berbeda kembali melewati Suangai Pua, harus dengan jalan kaki tak boleh naik angkot atau motor. Bila dilakukan maka akan digugurkan.
Kakak Pramukanya Kak Havids Tanjung salah satu wartawan senior Surat Kabar Harian Haluan di Padang Panjang, Kak Edy Mardafuly dan juga Kak Wen. Wahyu masih ingat, saat itu kepala sekolahnya Pak Amir Arifin saat ini sudah almarhum. Perjalanan itu memakan waktu tiga hari dua malam. Setiap daerah yang ia lewati, ia harus melapor ke kelurahan setempat dan meminta izin bermalam di rumah tokoh masyarakat atau pejabat kelurahan lengkap dengan bukti tanda tangan dan stempel pejabat setempat dalam sebuah diary.
Sebelum berangkat jalan kaki ini, Wahyu tak lupa pamit kepada Pak Kepala Sekolah sembari meminta pesan-pesan. "Semangat, disiplin, jaga sholat, akhlak dan nama baik sekolah, dimana dan kemanapun pergi carilah orang tua di sana, insya Allah berhasil", demikian lebih kurang pesan yang ditulis Pak Amir di buku diary itu.
Semuanya Wahyu jalani dengan senang hati, penuh semangat, dan rasa tanggung jawab. Akhirnya dilantik sebagai penegak laksana saat kegiatan PERJUSAMI di Bukik Bulek Payakumbuh bersama kawan-kawan yang lainnya.
Realitas dan Pilihan Hidup
Karena berbagai kendala, Wahyu tidak bisa melanjutkan ke SMA Taruna seperti yang ia impikan. Ia memilih jalan lain, melanjutkan pendidikan di sekolah agama hingga memperoleh gelar Sarjana Agama, dan akhirnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama. Saat kuliah kegiatan pramuka sudah ia tinggalkan dan diganti dengan kegiatan di Himpunan Mahasiswa Jurusan, Senat Fakultas dan Senat Mahasiswa Institut. Meski cita-citanya menjadi tentara tak tercapai, kecintaannya pada dunia militer tidak pernah pudar. Hingga kini, Wahyu selalu mengikuti berita tentang TNI, terutama mutasi perwira tinggi, jabatan, pengalaman, dan riwayat hidup mereka.
Kebanggaan pada Panglima Idola
Baru-baru ini, Wahyu sangat senang mendengar kabar bahwa Jenderal Kunto, putra dari Try Sutrisno, Panglima idolanya, diangkat menjadi Pangkogabwilhan I. Baginya, momen itu seperti pengingat akan mimpi yang pernah ia kejar dengan penuh semangat. Melihat Jenderal Kunto kini menyandang bintang tiga di pundaknya, Wahyu merasa seolah-olah ikut berbagi kebanggaan.
Penutup
Wahyu mungkin tidak berhasil menjadi tentara seperti yang ia impikan sejak kecil. Namun, kecintaan dan penghargaannya terhadap dunia militer tetap menjadi bagian penting dari hidupnya. Ia adalah bukti bahwa mimpi yang tak terwujud sekalipun dapat memberi warna dan makna dalam perjalanan hidup seseorang. (UWaS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar