🕊️ PIAGAM MADINAH UNTUK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA: TINJAUAN SEJARAH DAN KEKINIAN
Oleh: Wahyu Salim
(Penyuluh Agama Islam, Korbid. Penyuluhan KUB)
Pendahuluan
Ketika dunia modern menghadapi tantangan disintegrasi sosial dan meningkatnya intoleransi, umat beragama seakan dituntut untuk kembali menengok sejarah — mencari inspirasi dari masa ketika perbedaan bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan kekuatan untuk hidup berdampingan.
Salah satu teladan yang monumental adalah Piagam Madinah, sebuah konstitusi awal yang digagas langsung oleh Rasulullah ﷺ di Kota Madinah. Piagam ini bukan sekadar dokumen politik, tetapi sebuah pernyataan moral dan sosial tentang bagaimana masyarakat majemuk dapat hidup rukun dan damai di bawah nilai-nilai ketuhanan.
Tinjauan Sejarah: Madinah sebagai Model Masyarakat Plural
Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau tidak hanya bertemu dengan kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi juga dengan kelompok Yahudi dan berbagai kabilah lain yang memiliki kepercayaan, budaya, dan kepentingan berbeda.
Dalam situasi yang rentan konflik itu, Rasulullah ﷺ menyusun Piagam Madinah — atau disebut juga Mitsaq al-Madinah — yang berisi 47 pasal berisi prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial.
Di antara isinya yang sangat relevan untuk zaman sekarang adalah:
-
Kebebasan beragama dijamin sepenuhnya:
“Bagi kaum Yahudi agama mereka, bagi kaum Muslimin agama mereka.” -
Semua warga Madinah dianggap satu komunitas (ummah wahidah):
Tidak ada diskriminasi atas dasar suku, agama, atau keturunan. -
Perlindungan terhadap keamanan bersama:
Semua pihak wajib menjaga kedamaian kota dan menolak segala bentuk pengkhianatan dan kekerasan.
Dengan piagam ini, Rasulullah ﷺ bukan hanya menjadi pemimpin agama, tetapi juga arsitek masyarakat multikultural yang adil dan beradab.
Tinjauan Kekinian: Indonesia dan Semangat Piagam Madinah
Indonesia hari ini adalah wajah nyata masyarakat majemuk: beragam agama, suku, dan budaya hidup di satu tanah air yang sama. Namun, di tengah kebinekaan itu, potensi gesekan antarumat beragama selalu ada.
Di sinilah spirit Piagam Madinah menemukan relevansinya.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945, terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ketiga Persatuan Indonesia.
Seperti Rasulullah ﷺ menegaskan pentingnya “satu komunitas Madinah”, Indonesia pun menegaskan “Bhinneka Tunggal Ika” — berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Piagam Madinah mengajarkan bahwa:
-
Perbedaan tidak untuk dihapus, tapi untuk dikelola dengan bijak.
-
Keamanan dan keadilan adalah tanggung jawab bersama, bukan milik satu kelompok saja.
-
Dialog dan musyawarah lebih mulia daripada kekerasan dan kecurigaan.
Spirit Piagam Madinah dalam Kehidupan Berbangsa
Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, semangat Piagam Madinah dapat diterapkan melalui langkah-langkah sederhana namun bermakna:
-
Menumbuhkan empati lintas iman — belajar mendengarkan tanpa menghakimi.
-
Membangun kolaborasi sosial — bergotong royong lintas agama dalam isu kemanusiaan dan lingkungan.
-
Menguatkan literasi keagamaan — agar perbedaan keyakinan tidak menjadi sumber kebencian, melainkan peluang untuk saling mengenal.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan, ukuran kebaikan bukanlah kesamaan agama, melainkan seberapa besar manfaat kita bagi sesama.
Penutup
Piagam Madinah bukan sekadar dokumen sejarah; ia adalah cermin nilai-nilai universal yang terus hidup.
Bila kita mampu menghidupkan semangatnya di Indonesia — dengan saling menghormati, saling menjaga, dan saling bekerja sama — maka kedamaian bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh anak bangsa.
Karena sesungguhnya,
kerukunan bukanlah hasil dari keseragaman, tetapi buah dari keikhlasan untuk memahami perbedaan. UWaS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar