Padang Panjang, Pada suatu masa, di sebuah kantor pemerintahan di kota kecil yang tenang, Wahyu dan Disman dipertemukan oleh takdir dalam lingkup pekerjaan yang sama. Wahyu, seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang baru beberapa tahun bertugas, datang dengan semangat membara dan idealisme tinggi. Sementara itu, Disman, seorang senior yang telah mengabdi lebih dari tiga dekade, memandang dunia dengan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang. Mereka dipisahkan jarak usia lebih satu dekade.
Wahyu terkesan dengan sosok Disman. Meskipun usianya sudah senja, Disman tetap penuh dedikasi, luas pergaulan dan tidak memilih-milih teman. "Pak Disman, bagaimana Bapak bisa bertahan selama ini?" tanya Wahyu suatu hari saat mereka berbincang di sela-sela pekerjaan.
Disman tersenyum tipis, mengaduk kopi hitam di cangkirnya. "Wahyu, hidup ini seperti roda. Ada saatnya kita di atas, ada saatnya kita di bawah. Apa yang membuat saya bertahan adalah kesadaran bahwa setiap masa memiliki hikmahnya sendiri," jawab Disman.
Wahyu mengangguk, meski belum sepenuhnya memahami. Hari demi hari, ia melihat bagaimana Disman menghadapi setiap tantangan pekerjaan dengan tenang, meski tak jarang kebijakan yang datang dari atasan terasa membingungkan. Suatu kali, ketika tugas di kantor menghadapi kendala, Wahyu merasa stres dan hampir menyerah, berbeda kenyataan di lapangan dengan nilai-nilai ideal yang ia pahami. Disman hanya menepuk pundaknya. "Tenang, Dik. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Sabar dan syukuri apa yang bisa kita pelajari dari ini."
Waktu berlalu, dan Wahyu mulai menyadari kebenaran kata-kata Disman. Ia belajar dari cerita-cerita masa lalu seniornya: perjuangan di awal karier, kesalahan yang menjadi pelajaran, dan momen-momen kecil yang membawa kebahagiaan. Wahyu mulai memahami bahwa kesabaran dan rasa syukur adalah kunci menghadapi sekolah kehidupan yang panjang ini.
Disman pernah bercerita bagaimana ia harus berjuang dari nol. Di masa mudanya, ia pernah hidup di bawah garis kemiskinan, tinggal di masjid, menjadi agen angkutan, bekerja keras sambil menempuh pendidikan. "Dulu, Dik, saya hanya punya sepeda motor tua untuk pergi ke kantor. Tapi itu tidak mengurangi semangat saya. Saya percaya bahwa Allah selalu menggilirkan masa. Saat kita di bawah, kita belajar bersabar. Saat kita di atas, kita belajar bersyukur." Di samping PNS, Disman sudah lama menggarap sawah, kebun coklat, kopi, durian dan pokat, sekarang tinggal memetik hasilnya.
Ketika tiba saatnya Disman pensiun, Wahyu merasa kehilangan seorang mentor. Di hari terakhir Pak Disman masuk kerja, Wahyu mengungkapkan kesan mendalam. "Pak Disman mengajarkan saya lebih dari sekadar pekerjaan. Beliau mengajarkan arti kehidupan, tentang bagaimana menghadapi segala tantangan dengan kepala tegak dan hati yang penuh rasa syukur."
Disman tersenyum haru. "Wahyu, hidup ini terus berputar. Sekarang giliranmu untuk menjalani masa-masamu sendiri. Ingat, Dik, setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya."
Setelah Disman pensiun, Wahyu mengambil tanggung jawab lebih besar di kantor. Ia melanjutkan warisan kebijaksanaan yang pernah diajarkan Disman, menjadi teladan bagi rekan-rekan kerja yang lebih muda. Dalam setiap tantangan, Wahyu selalu teringat nasihat seniornya: bersyukur saat di atas, bersabar saat di bawah, dan belajar dari setiap fase kehidupan.
Demikianlah, kehidupan terus bergulir seperti roda yang tak pernah berhenti berputar. Setiap masa membawa pelajaran, dan setiap orang memainkan perannya di sekolah kehidupan yang luas dan panjang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar