Menjemput Takdir Menjadi Tamu Allah & Tamu Rasulullah
Uwas hanyalah seorang hamba sederhana. Hidupnya pas-pasan, pekerjaannya biasa-biasa saja. Kalau ditimbang dari segi harta, orang mungkin akan berkata: “Mana mungkin Uwas bisa berangkat Umrah?” Namun, justru dari sosok inilah kita belajar bahwa tidak ada yang mustahil bila Allah sudah memanggil seorang hamba untuk menjadi tamu-Nya.
Sejak muda, Uwas sering berdoa dengan lirih, “Ya Allah, izinkan aku suatu saat menjejakkan kaki di Tanah Suci-Mu, menjadi tamu-Mu, menjadi tamu kekasih-Mu, Rasulullah ﷺ.” Doa itu terus ia panjatkan, kadang dengan linangan air mata, kadang dengan harapan yang disimpan dalam-dalam di sudut hatinya.
Hari demi hari, tahun berganti tahun, keajaiban itu perlahan terwujud. Tanpa ia sangka, Allah membuka jalan. Dari rezeki yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit, dari bantuan tangan-tangan penuh kasih, dari niat tulus yang tidak pernah padam—akhirnya nama Uwas terdaftar sebagai jamaah umrah.
Ketika pertama kali melihat Ka’bah, tubuh Uwas gemetar. Air matanya jatuh deras, seakan seluruh beban hidup luruh di hadapan Baitullah. Ia merasa kecil, hina, tak berdaya, namun sekaligus dimuliakan karena diundang langsung oleh Allah. “Inilah bukti bahwa umrah bukan soal harta, bukan soal mampu atau tidak, tapi soal panggilan,” bisiknya lirih.
Di Masjidil Haram, Uwas merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapatkan di tempat lain. Setiap putaran tawafnya adalah lantunan doa, setiap langkah sa’inya adalah perjalanan hidup yang penuh harap dan perjuangan.
Lalu, saat tiba di Madinah, hatinya semakin luluh. Menyampaikan salam di hadapan makam Rasulullah ﷺ membuatnya tersadar betapa besar kasih sayang Nabi kepada umatnya, termasuk dirinya yang sering lalai dan penuh kekurangan. Ada getaran batin yang sulit ia ungkapkan, seakan seluruh hidupnya hanya ingin ia persembahkan sebagai bukti cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Pengalaman Uwas mengajarkan, siapa pun bisa menjadi tamu Allah dan tamu Rasulullah. Kuncinya adalah memantaskan diri. Membersihkan hati, memperbaiki niat, memperbanyak amal, serta terus berdoa penuh keyakinan. Karena pada akhirnya, perjalanan umrah adalah tentang kemuliaan yang Allah anugerahkan, bukan tentang kemampuan manusia.
Keutamaan ibadah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sungguh luar biasa. Satu kali shalat di Masjidil Haram nilainya seratus ribu kali dibanding shalat di masjid lainnya, sementara satu kali shalat di Masjid Nabawi nilainya seribu kali lipat. Tidak ada tempat di muka bumi yang lebih mulia untuk menundukkan hati dan jiwa selain di dua masjid ini.
Kini, setiap kali pulang dari ibadah umrah, Uwas selalu berpesan pada sahabat-sahabatnya:
“Jangan pernah ragu untuk bermimpi menjadi tamu Allah. Jangan pernah merasa tidak mungkin. Yang penting, pantaskan diri, perbaiki niat, lalu serahkan semuanya pada Allah. Karena bila Allah sudah memanggil, tak ada yang bisa menghalangi. Dan saat itu, engkau akan merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan—menjadi tamu Allah, tamu Rasulullah.” UWaS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar