Jumat, 26 September 2025

Uda Gindo, Driver NPM Kelas Sultan: Yakin Setiap Usaha, Ada Hasilnya


Uda Gindo, Driver NPM Kelas Sultan: Yakin Setiap Usaha, Ada Hasilnya

“Enak bana jadi sopir NPM, asal sabar jo ikhlas…” begitu kata Uda Gindo, salah seorang driver bus NPM kelas Sultan jurusan Padang Panjang – Jakarta.

Sejak muda, Uda Gindo sudah akrab dengan setir dan jalan raya. Bagi orang lain, jadi sopir bus mungkin hanya soal membawa penumpang. Tapi bagi Uda Gindo, inilah jalan hidup yang penuh keberkahan. Dari kursi kemudi itu, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke bangku kuliah. Dari setir itu pula ia bisa membangun rumah untuk keluarga, tempat berteduh yang menjadi kebanggaan sekaligus tanda bakti pada orang tua dan anak istrinya.

Satu hal yang membuat Uda Gindo dikagumi: ia pemurah, pandai bakawan, dan selalu ramah dengan penumpang. Tidak sedikit penumpang yang baru pertama kali naik bus, merasa seperti sudah kenal lama dengannya.
“Assalamu’alaikum, Pak… duduknyo nyaman? Kalau ado apo-apo, kabari awak yo,” ucapnya dengan senyum tulus.

Teman sejawatnya tahu, Uda Gindo itu setia kawan. Kalau ada rekan sopir yang kena musibah, ia pasti turun tangan. Kalau ada kawan yang kesulitan di jalan, ia yang pertama menawarkan bantuan.

Dialog di Lapau: Hikmah Kehidupan

Suatu sore, selepas perjalanan panjang, Uda Gindo singgah di Kadai Angku Datuak, sebuah lapau sederhana di Padang Panjang yang sering menjadi tempat berkumpul para sopir, perantau, dan tokoh masyarakat. Di sana sudah ada Wahyu, penyuluh agama yang dikenal ramah dan suka berdiskusi ringan tapi penuh makna.

Angku Datuak menuangkan kopi hitam hangat, sementara bunyi dentingan cangkir terdengar bersahutan.

“Wahyu,” kata Uda Gindo sambil menyeruput kopi, “jadi sopir itu bukan sekadar cari duit. Tapi ado maknonyo. Awak selalu yakin, setiap usaha itu pasti ado hasilnyo.”

Wahyu tersenyum, “Benar, Da. Allah janji dalam Qur’an, man jadda wajada—siapa yang bersungguh-sungguh, akan mendapat hasil. Tapi jangan lupa, hasil itu bukan hanya harta, tapi juga barakah. Dan awak alhamdulillah, barakah itu sudah tampak dari keluarga dan kawan-kawan yang hormat, sagan kepada Da.”

Percakapan makin hangat. Seorang kawan sopir lain nyeletuk, “Iyo, hidup di jalan panjang ini penuh risiko. Kadang orang anggap remeh, padahal tanggung jawabnyo besar. Tapi kalau hati ikhlas, setiap kilometer itu jadi ibadah.”

Wahyu menambahkan, “Benar, bahkan Rasulullah ﷺ bersabda, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Uda Gindo bawa penumpang dengan aman dan selamat, itu manfaat besar. Bisa jadi setiap kali Da mengucapkan salam dan senyum pada penumpang, itu sudah jadi amal shalih.”

Uda Gindo terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. “Wahyu, awak ndak punyo banyak ilmu, ndak pandai ceramah. Tapi awak hanya ingin anak-anak awak bangga, dan penumpang merasa aman. Itu saja cita-cita awak.”

Wahyu menepuk bahunya pelan, “Itulah hakikatnya, Da. Setiap kerja yang ikhlas karena Allah, jadi ladang pahala. Awak sudah menanam kebaikan, percayalah Allah akan membalas dengan kebaikan yang lebih besar.”

Suasana lapau senyap sesaat. Angin sore dari Gunung Singgalang berhembus perlahan, membawa aroma kopi hangat dan hikmah yang meresap ke dalam hati setiap orang yang hadir.

Penutup

Kisah Uda Gindo adalah cermin bahwa hidup sederhana bisa penuh makna. Bahwa bekerja sebagai sopir bus bukan sekadar profesi, tapi jalan pengabdian—untuk keluarga, untuk kawan, dan untuk umat. Dari balik setir, ia mengajarkan: Yakinlah, setiap usaha pasti ada hasilnya.

Dan di lapau sederhana bersama kawan-kawan, setiap cangkir kopi bukan hanya pelepas lelah, tapi juga jadi sumber hikmah kehidupan. UWaS

Tidak ada komentar: