Selasa, 30 September 2025

Refleksi 80 Tahun Sumatera Barat: Antara Warisan Nilai dan Harapan Baru

Refleksi 80 Tahun Sumatera Barat: Antara Warisan Nilai dan Harapan Baru

Tanggal 1 Oktober 2025 menandai Hari Jadi Sumatera Barat ke-80. Delapan dekade perjalanan provinsi ini bukan sekadar hitungan usia, tetapi momentum untuk merefleksikan arah pembangunan: apakah nilai yang diwariskan leluhur, khususnya filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), benar-benar menjadi landasan dalam praktik beragama, ekonomi, dan sosial budaya kita?

Warisan Religius dan Tantangan Implementasi

Sumatera Barat dikenal sebagai daerah religius. Surau, masjid, dan pengajian selalu hidup, bahkan menjadi identitas kultural masyarakat Minang. Namun, religiusitas seremonial tidak selalu sejalan dengan implementasi nilai agama dalam kebijakan publik.

Memang ada inisiatif positif: dakwah moderasi beragama mulai masuk kurikulum muatan lokal, kegiatan penguatan akhlak ASN dilakukan melalui lomba "Cerdas BerAKHLAK", hingga program sosial keagamaan yang melibatkan banyak pihak. Namun, realitas birokrasi dan politik sering kali masih jauh dari nilai keadilan, integritas, dan amanah yang diajarkan agama.

Refleksi ini menuntut agar nilai agama tidak berhenti pada slogan, tetapi diterjemahkan menjadi indikator nyata—misalnya indeks integritas birokrasi berbasis nilai Islam, transparansi layanan publik, hingga perlindungan terhadap kelompok rentan. 

Masih banyak penyakit masyarakat yang perlu penanganan serius seperti kenakalan remaja; cabul; narkoba; korupsi ditambah lagi judi online dan game online yang meresahkan saat ini. Langkah kongkrit "Tigo Tunggu Sajarangan" akan selalu dinanti masyarakat secara luas.

Ekonomi: Pertumbuhan Ada, Kualitas Perlu Ditajamkan

Dari sisi ekonomi, Sumatera Barat menunjukkan stabilitas. Data BPS mencatat pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 4,36% dan meningkat menjadi 4,66% pada triwulan I 2025. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumbar pada triwulan I/2025 mencapai sekitar Rp 86,25 triliun. Angka ini menandakan pemulihan, tetapi belum menembus pertumbuhan tinggi yang mampu melompatkan kesejahteraan masyarakat.

Tantangannya jelas: ketergantungan pada sektor primer, nilai tambah industri yang masih terbatas, serta UMKM yang belum sepenuhnya naik kelas. Pertumbuhan moderat tidak otomatis berarti pemerataan. Maka, jika ingin menjadikan nilai agama dan ABS-SBK sebagai fondasi, pembangunan ekonomi harus berpihak pada keadilan distribusi, etika usaha, dan penguatan ekonomi kerakyatan.

Model koperasi syariah di surau atau masjid, misalnya, bisa menjadi instrumen konkret: menyediakan akses modal bergulir, literasi keuangan, hingga pemasaran digital bagi UMKM lokal. Dengan cara ini, nilai agama bukan hanya menjadi retorika, melainkan energi produktif bagi kesejahteraan rakyat. 

Koperasi merah putih yang berbasis pada masyarakat akar rumput tentu saja akan sangat diharapkan terutama pada kalangan muda, surau dan pranata adat

ABS-SBK: Filosofi yang Butuh Terjemahan Modern

ABS-SBK adalah kebanggaan orang Minang. Filosofi ini menyatukan adat dan syariat, menjembatani kehidupan sosial, hukum, dan moral. Namun, berbagai penelitian menunjukkan ada kesenjangan antara nilai ideal dan implementasi nyata. ABS-SBK kerap dijadikan simbol politik, tetapi kurang operasional dalam menghadapi persoalan kontemporer seperti peran perempuan, keluarga modern, hingga ekonomi digital.

Maka, tantangan hari ini adalah mentransformasikan ABS-SBK menjadi kebijakan konkret. Misalnya:

  • Lembaga adat yang lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan perempuan serta generasi muda.

  • Kurikulum karakter berbasis ABS-SBK di sekolah, bukan sekadar hafalan filosofi, melainkan praktik hidup sehari-hari.

  • Mekanisme penyelesaian konflik sosial yang berlandaskan nilai adat-syariat, tetapi adaptif terhadap hukum negara dan hak asasi manusia.

Untuk itu dibutuhkan penguatan lembaga adat agar terhindar dari dualisme dan kepentingan politik sesaat.

Harapan ke Depan: Langkah Konstruktif

Agar peringatan HJ ke-80 tidak berhenti pada nostalgia, ada beberapa langkah konstruktif yang bisa ditempuh:

  1. Membangun Indikator Nilai – Pemerintah daerah perlu menyusun indikator sederhana untuk mengukur implementasi nilai agama, distribusi ekonomi, dan harmonisasi adat-syariat setiap tahun.

  2. Surau Ekonomi Rakyat – Surau dan masjid bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga pusat pemberdayaan UMKM berbasis koperasi syariah dan literasi digital.

  3. Reformasi Tata Kelola Adat – Lembaga adat diberi standar kode etik, keterbukaan, dan ruang partisipasi lebih luas, agar ABS-SBK benar-benar hidup dalam masyarakat modern.

  4. Kurikulum Karakter Lokal – Pendidikan di sekolah memperkuat nilai moderasi beragama, etika ekonomi, dan pemahaman adat-syariat secara aplikatif.

  5. Transparansi Berbasis Data – Pemerintah membuka data BPS, RPJMD, hingga laporan OPD untuk publik, agar masyarakat bisa ikut mengawal kemajuan berbasis nilai.

Penutup

Hari Jadi ke-80 Sumatera Barat adalah tonggak sejarah penting. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan utama daerah ini bukan hanya pada sumber daya alam atau angka pertumbuhan, melainkan pada nilai luhur yang diwariskan: agama, adat, dan budaya. Namun, nilai itu tidak boleh berhenti sebagai identitas simbolik.

Refleksi kali ini seharusnya menjadi lonceng kesadaran kolektif. Kita butuh keberanian untuk memperbaiki tata kelola, mendistribusikan ekonomi lebih adil, dan menerjemahkan ABS-SBK secara modern. Hanya dengan itu Sumatera Barat bisa melangkah ke depan: religius tapi rasional, beradat tapi adaptif, dan sejahtera tanpa meninggalkan nilai luhur. UWaS

📌 Referensi Data & Kajian:

  • Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat, Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat 2024 (2025).

  • BPS Sumatera Barat, Ekonomi Triwulan I 2025 (2025).

  • Studi akademik tentang implementasi ABS-SBK & muatan lokal moderasi beragama.

  • Dokumentasi Pemprov Sumbar: Peringatan HJ ke-80 (2025).

Tidak ada komentar: