Memenuhi Janji kepada Allah SWT
Tafsir Al-A‘rāf Ayat 172
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Tafsir Ringkas Kemenag
Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang kisah Nabi Musa dan Bani Israil dengan mengingatkan mereka tentang perjanjian yang bersifat khusus, di sini Allah menjelaskan perjanjian yang bersifat umum, untuk Bani Israil dan manusia secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk penghambaan. Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi, yakni tulang belakang anak cucu Adam, keturunan mereka yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Dan kemudian Dia memberi mereka bukti-bukti ketuhanan melalui alam raya ciptaanNya, sehingga-dengan adanya bukti-bukti itu-secara fitrah akal dan hati nurani mereka mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Karena begitu banyak dan jelasnya bukti-bukti keesaan Tuhan di alam raya ini, seakan-akan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka seraya berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhan Pemelihara-mu dan sudah berbuat baik kepadamu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi bahwa Engkau Maha Esa.” Dengan demikian, pengetahuan mereka akan bukti-bukti tersebut menjadi suatu bentuk penegasan dan, dalam waktu yang sama, pengakuan akan kemahaesaan Tuhan. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari Kiamat kamu tidak lagi beralasan dengan mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini, tidak tahu apa-apa mengenai keesaan Tuhan.”
Tafsir Tahlili
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh roh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada roh manusia “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Maka menjawablah roh manusia, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban ini merupakan pengakuan roh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali Dia.
Dengan ayat ini Allah bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri, Allah berfirman pada ayat lain:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (ar-Rūm/30: 30)
Fitrah Allah maksudnya ialah tauhid. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَلِدُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا جَذْعَاءَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)
“Tak seorang pun yang dilahirkan kecuali menurut fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan melahirkan anaknya yang sempurna telinganya, adakah kamu ketahui ada cacat pada anak hewan itu?” (Riwayat al-Bukhārī Muslim, dari Abu Hurairah)
Rasulullah dalam hadis Qudsi:
قالَ اللّٰهُ تَعَالَى إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ (رواه البخاري عن عياض بن حمار)
Berfirman Allah Ta’ālā, “Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-Ku cenderung (ke agama tauhid). Kemudian datang kepada mereka setan-setan dan memalingkan mereka dari agama (tauhid) mereka, maka haramlah atas mereka segala sesuatu yang telah Kuhalalkan bagi mereka.” (Riwayat al-Bukhārī dari Iyāḍ bin Ḥimār)
Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.
Refleksi QS. Al-A‘raf: 172
Setiap manusia lahir ke dunia dengan membawa fitrah keimanan. Al-Qur’an menegaskan bahwa sejak dalam kandungan, manusia telah mengikat janji dengan Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A‘raf: 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’”
1. Makna Janji dalam Ayat
Ayat ini dikenal dengan istilah Mitsaq al-Alast atau perjanjian primordial, yaitu pengakuan manusia bahwa Allah adalah Rabb sekaligus Penciptanya. Janji ini bukan sekadar ikatan simbolik, melainkan kontrak spiritual yang melekat pada fitrah setiap insan. Dengan janji tersebut, manusia pada hakikatnya tidak memiliki alasan untuk mengingkari keberadaan dan kekuasaan Allah.
2. Wujud Janji kepada Allah SWT
Janji yang telah kita ikrarkan dalam alam ruh itu sejatinya menuntut realisasi dalam kehidupan nyata. Wujud pemenuhan janji tersebut antara lain:
-
Mengakui keesaan Allah dengan bertauhid dan menjauhi syirik.
-
Melaksanakan perintah-Nya seperti shalat, zakat, puasa, dan ibadah lainnya.
-
Menjaga akhlak mulia dalam berhubungan dengan sesama manusia.
-
Bersyukur atas nikmat dan bersabar atas ujian kehidupan.
3. Konsekuensi Mengingkari Janji
Mengingkari janji kepada Allah berarti menutup mata terhadap fitrah diri sendiri. Hal ini dapat menjerumuskan manusia pada kesesatan dan azab. Allah SWT telah memperingatkan agar manusia tidak menjadikan dunia sebagai alasan lupa kepada-Nya.
4. Aktualisasi Janji dalam Kehidupan Modern
Di era modern, banyak godaan yang dapat melalaikan manusia dari janji tersebut: materialisme, hedonisme, dan individualisme. Oleh karena itu, umat Islam perlu memperkuat kembali kesadaran spiritual melalui ibadah, pendidikan agama, dan dakwah yang menyentuh hati. Mengingat janji kepada Allah akan melahirkan pribadi yang berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab, baik di ruang publik maupun pribadi.
Penutup
Memenuhi janji kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-A‘raf: 172 adalah inti dari kehidupan beragama. Janji itu tidak sekadar pengakuan, tetapi harus diwujudkan dalam iman, ibadah, dan akhlak sehari-hari. Semoga kita semua mampu menjaga dan menunaikan janji suci tersebut hingga akhir hayat, agar kelak kembali kepada-Nya dengan membawa hati yang bersih.
✍️ Oleh: Wahyu Salim
Penyuluh Agama Islam Kota Padang Panjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar